Our social:

Latest Post

Sabtu, 11 Juli 2015

REFORMASI KEBEBASAN KEKUASAAN KEHAKIMAN


Persoalan Kebebasan Kekuasaan Kehakiman
Berdasarkan analisis historis konstitusi di Indonesia, adanya jaminan dan kepastian akan hakekat kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman sangat tergantung dengan penerapan dan pelaksanaan sistem politik. Kendati konstitusi kini secara eksplisit menyatakan kebebasan kekuasaan kehakiman, tapi penyimpangan masih begitu banyak terjadi, baik dalam konteks dimensi substansi maupun prosedural yang tidak memungkinkan terjadinya kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman.
Berbagai peraturan perundangan yang mengatur kekuasaan kehakiman, masih belum memberi ruang dan atmosfir yang kondusif bagi independensi kekuasaan kehakiman. Banyak peraturan yang tidak selaras, tidak harmonis dan inkonsistensi dengan konstitusi maupun satu dengan lainnya. Diantaranya ada yang mengandung berbagai kelemahan, karena mengandung multi penafsiran dan tidak bisa dilakukan enforcement. Sementara mekanisme berbagai peraturan perundangan yang mendistorsi ketentuan dalam konstitusi.
Intervensi atau pengaruh campur tangan dari kekuasaan pemerintah masih begitu jelas terlihat dan terasa. Bahkan, lembaga peradilan tersubordonasi oleh kekuasaan eksekutif dan dikooptasi oleh pihak yang menguasai sumber daya ekonomi dan politik. Dalam rezim iu, peradilan merupakan bagian dari kepentingan eksekutif, karena harus mnejalankan direktiva dan mengamankan preferensi kepentingan penguasa dan kekuasaan. Sehinggga fungsi genuinenya tidak bisa dilakukan secara optimal, malah berfungsi guna melaksanakan, mempertahankan dan mengamankan program pembangunan dan kepentingan pemerintah, yaitu sebagai instrumen stabilitas politik dan pendorong pertumbuhan ekonomi.
Peradilan tidak punya kebebasan dan kemandirian untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan masalah internal institusional dan substantif. Dalam masalah personal, primaritas juga masih menjadi persoalan, dimana etika, moralitas serta integritas dan kapabilitasa hakim dalam kekuasaan kehakiman belum sepenuhnya independen dan terbebaskan dari pengaruh dan kepentingan kekuasaan. Mereka seharusnya tidak boleh mmepengaruhi dan /atau terpengaruh atas berbagai keputusan dan akibat hukum yang dibuatnya sendiri, baik dari segi politis maupun ekonomis.

Asumsi Dasar Reformasi Kebebasaan Kekuasaan Kehakiman:
Tujuan utama kekuasaan kehakiman menurut konstitusi adalah mewujudkan cita-cita kemerdekaan RI yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur melalui jalur hukum. Reformasi dibidang kekuasaan kehakiman ditujukan untuk:
Pertama          :  menjadikan kekuasan kehakiman sebagai sebuah institusi yang independent;
Kedua              :    mengembalikan fungsi yang hakiki dari kekuasaan kehakiman untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum;
Ketiga              :   menjalankan fungsi check and balances bagi institusi kenegaraan lainnya;
Keempat         :  mendorong dan memfasilitasi serta menegakkan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis guna mewujudkan kedaulatan rakyat dan kelima: melindungi martabat kemanusiaan dalam bentuk yang paling kongkrit.

Kebebasan kekuasaan Kehakiman dalam konteks mewujudkan peradilan mandiri, tidak hanya menyatu atapkan pembinaan dan pengawasan, tapi juga dimaksudkan untuk memandirikan Hakim dan lembaga Mahkamah Agung. Secara organisatoris MA dan lingkungan peradilan lainnya harus dibebaskan dan dilepaskan dari segala intervensi dan pengaruh kekuasaan negara lainnya dan hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tidak boleh menundukkan diri pada visi dan kepentingan politik pemerintah. Secara politik, kekuasaan kehakiman harus didukung oleh pemisahan yang tegas antara lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif dengan mengimplementasikan ketetapan MPR yaitu TAP MPR No. X / 1998 yang menyatakan perlunya pemisahan yang tegas antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif, sehingga menciptakan adanya check and balances dalam sistem politik. Jaminan kebebasan pers juga menjadi salah satu prasyarat dan bagian integral yang tak terpisahkan bagi terwujudnya kebebasan kekuasaan kehakiman.
Indonesia juga harus melaksanakan secara utuh dan konsekwen prinsip-prinsip universal dari kemandirian kebebasan kekuasaan kehakiman. Karena itu harus direvisi dan diamandemen segala peraturan perundang-undangan kebijakan dan lembaga -lemnbaga yang bertentangan dengan jiwa dan prinsip dari kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman.

Mahkamah Agung Dalam Konteks Ketatanegaraan :
Kalau hendak membicarakan MA dalam konteks ketatanegaraan, maka titik tolaknya bertumpu pada pasal 24 dan 25 UUD yang mengemukakan sebagai berikut:
Pasal 24 :
(1)  Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut Undang-Undang;
(2)  Susunan dan Kekuasaan badan-badan Kehakiman itu diatur dengan Undang-Undang.

Pasal 25 :
Syarat- syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan Undang-Undang.

Jika dianalisis lebih dalam, kosakata “Kekuasaan Kehakiman” dalam konstitusi merupakan terjemahan dari istilah Belanda yang bisa disebut ”Rechterlijke Macht”. Kata dimaksud mengacu pada teori Montesque mengenai pemisahan kekuasaan atau “Separation of Power“. Maksud istilah “Kekuasaaan” dapat diartikan sebagai “Orgaan“ (Badan) atau bisa juga berarti “Functi” (Tugas).
Sedangkan penggunaan istilah “Sebuah” Mahkamah Agung, haruslah diartikan bahwa Undang-Undang Dasar hanya menghendaki satu badan atau lembaga Mahkamah Agung saja. Sedangkan kosakata istilah “Badan Kehakiman” dalam arti umum disebut sebagai “Genus Begrip”. Jadi dengan begitu “Mahkamah Agung” dimaknai dalam arti khusus yaitu sebagai “Species Begrip”. Ada pun yang dimaksud dengan kosakata “Susunan” adalah sebagai instruktur dari organisasi badan-badan peradilan, sedangkan istilah “Kekuasaan” dimaksudkan sebagai wewenang atau kewenangan, dalam bahasa lain biasa disebut sebagai “Judiciary Act”.
Dalam realisanya antara kekuasaan kehakiman dengan cabang kekuasaan lainnya, ada suatu pendapat yang menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar menganut faham Duo Politica, karena pemisahan kekuasaan negara hanya menyangkut dua kekuasaan saja, yaitu: Kekuasaan Pemerintahan Negara sebagaimana diatur dalam BAB III dan Kekuasaan kehakiman seperti diatur dalam BAB IX Undang-Undang Dasar. Melalui faham atau ajaran Duo Politico ini telah terjadilah pemisahan kekuasaan, sehingga dengan begitu Undang-Undang Dasar juga menganut ajaran politik “Separation Of Power”.
Sedangkan dalam konsteks kekuasaan pembuatan Undang-Undang secara normatif DPR punya kewenangan untuk memberikan persetujuan terhadap Rancangan Undang-Undang (Pasal 20 ayat 2 UUD), walaupun harus mendapatkan pengesahan dari Presiden (Pasal 21 ayat 2 UUD). Demikan sebaliknya, dalam kegentingan yang memaksa pemerintah bisa mengajukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, tapi harus mendapatkan persetujuan dari DPR (Pasal 22 ayat 1 dan ayat 2 UUD). Dalam kekuasaan pembentukan UU terjadilah distribution of power yang cukup balance antara DPR dengan Kekuasaan Pemerintah yang sekaligus Separation of Power dengan Kekuasaan Kehakiman.
Analisis normatif semantik dalam bidang kekuasaan pembuatan Undang-Undang harus disertai dengan analisis historis untuk melacak spirit yang menjadi motif pembuatan teks pasal itu. Kendati tidak cukup banyak literatur yang mengemukakan hal ini, tapi dua hal bisa diajukan sebagai dasar, mengapa Kekuasaan Pemerintah mempunyai hak dalam pembuatan Undang-Undang, karena: pertama: pemerintah dianggap paling mengetahui kebutuhan peraturan atau kebijakan yang diperlukan untuk menjalankan pemerintahan; kedua: pemerintah mempunyai resources yang cukup untuk mengajukan usulan rancangan peraturan. Namun begitu DPR pun, tetap diberi kekuasaan untuk membentuk dan memberikan persetujuan terhadap rancangan Undang-Undang.
Dalam konteks kekinian, alasan dan kebutuhan Kekuasaan Pemerintah membuat Undang-Undang harus dipertimbangkan lagi apalagi jika diletakkan dan dikaitkan dengan ajaran konstitusionalisme dalam konteks pembatasan kekuasaan dan kekuasaan yang harus mengabdi dan melindungi kepentingan rakyat. Dengan begitu, pendapat faham Duo Politico tidak sepenuhnya benar, karena kekuasaan tetap terbagi menjadi kekuasaan eksekutif, legislatif dan judicial sesuai dengan ajaran Trias Poltica tapi tidak murni.
Jika analisis diatas diletakkan dalam konteks ajaran Montesque dalam Trias Poltica murni, maka kekuasaan tidak hanya berbeda, tapi juga merupakan suatu institusi yang harus terpisah satu dan lainnya didalam melaksanakan kewenagannya (maksudnya: satu organ, satu fungsi). Biasa juga dikemukan sebagai “Communis Opinio Doctrum”, di mana kekuasaan kehakiman adalah suatu yang kekuasaan yang harus benar-benar terbebaskan dari pengaruh kekuasaan yang lainnya. Dalam Constitusional Rule biasa dikemukakan atau disebutkan sebagai ”The Independence Of Judiary”. Dari Undang-Unadang dasar dikemukakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang terpisah.
`Kalau teori Montesque dengan ajaran atau faham konstitusionalisme , maka hakim harus mempunyai kewenangan untuk mengkontestasi dan membatalkan setiap peraturan, kebijakan dan tindakan presiden serta setiap perundang-undangan yang bertentangan dan melanggar konstitusi. Apalagi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tidak pernah menyatakan dana membuat ketentuan yang melarang hakim untuk menguji Undang-undang terhadap konstitusi. Dalam posisi dan titik ini Hakim Kasasi dapat bertindak untuk atas nama serta sebagai “Interpreter of the constitution”.

Problematik dan Solusi Eksternal:
Pada kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia, pendekatan atau setting didalam sistem politik menggunakan sistem distribution of power yang menghendaki adanya kooperasi dan konsultasi kelembagaan diantara badan ekskeutif dan yudikatif. Dalam kenyataannya, keadaan seperti ini, sanagat potensial menyebabkan terjadinya “judgment of political interference”. Untuk mengatasi problematik eksternal, maka secara politik dalam sistem politik harus dilakukan pemisahan yang tegas antara lembaga legislatif , yudikatif dan eksekutif dengan mengimplementasikan secara tegas ajaran Trias Politika dari Montesque dan merealisasikan Ketetapan MPR No X / 1998 secara murni dan konsekwen.
Pemisahan secara tegas harus dilanjutkan disertai dengan pemberian secara otonomi kepada yudikatif, baik yang bekaitan dengan kemandirian dalam bidang personal, internal institusional dan substantif. Begitu pun terhadap penyelenggaraan fungsi-fungsi kekuasaan kehakiman seperti fungsi yudicial review, supervisi, konsultatif, legislatif dan administratif diserahkan sepenuhnya kepada dan melalui lembaga MA. Dengan begitu tidak ada lagi ketegangan antara dua badan yang sering terjadi secara factumis area dalam bidang dan fungsi kekuasaan kehakiman.
Peran profesioanl hakim harus ditegakkan dengan membebaskannya dari pengaruh extra judicial serta membebaskannya dari kekuasaan apa pun, baik kekuasaan dalam bidang eksekutif, legislatif maupun lembaga kekuasaan negara lainnya. Kehendak yang bebas harus terwujud dan diwujudkan dengan kongkrit. Tapi itu tidak berarti kekuasaan Kehakiman akan bebas sebebas-bebasnya, mekanisme check and balances, check and control harus dorong dan diciptakan untuk menghindari adanya power block.
Itu sebabnya hak prerogatif presiden dalam pengangkatan pimpinan dan anggota MA serta hakim Agung harus dibatasi. Presiden hanya berfungsi deklaratif yaitu menandatangani pengesahan usulan calon Pimpinan, Anggota MA dan Hakim Agung yang sudah pasti, yang sudah diputuskan oleh Majelis dan/atau Parlemen dalam kapasitas sebagai Presiden dan bukan sebagai Kepala Negara karena istilah Kepala Negara tidak dikenal dalam UUD.

Problematik dan Solusi Internal
1. Sifat Independen Yudicial
Kekuasaan MA harus independen dan terpisah dari kekuasaan negara lainnya. Independen itu meliputi kemandirian personal (personal judicial indepence), kemandirian substansial (substantif judicial independence) dan kemandirian internal dan kemandirian kelembagaan (institusional judicial independence).
Kemandirian substantif adalah kemandirian didalam memerikasa dan memutusakan suatu perkara semata-mata untuk menegakkan kebenaran dan keadilan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum.
Kemandirian institusional adalah kemandirian lembaga kehakiman dari intervensi berbagai lembaga kenegaraan dan pemerintahan lainnya didalam memutus suatu perkara.
Kemandirian internal adalah kemandirian yang dimiliki oleh peradilan untuk mengatur sendiri kepentingan kepersonalian kehakiman meliputi antara lain rekruetmen, mutasi, promosi, penggajian , masa kerja, masa pensiun.
Kemandirian personal adalah kemandirian dari pengurus rekan sejawat, pimpinan dan institusi kehakiman itu sendiri.
2. Fungsi Peradilan
Fungsi utama dari MA sebagai sebuah lembaga peradilan adalah mewujudkan tujuan hakiki dari kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri yaitu mewujudkan kedaulatan rakyat, interpreter of the constitution, menegakkan keadilan, kebenaran dan kepastian hukum, menjalankan fungsi check and balance guna menegakkan prinsip-prinsip negara hukum guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Fungsi Yudicial menyelenggarakan peradilan dengan melaksanakan dan menerapkan hukum secara tepat dan adil.
Fungsi Review (toetsingsrecht) adalah hak untuk menguji secara materiil berbagai peraturan perundang-undangan dibawah konstitusi dengan mekanisme prosedural yang tidak menyulitkan.
Fungsi Supervisi adalah pertama: pengawasan dan pembinaan tertinggi terhadap proses penyelenggaraan peradilan disemua tingkat dan lingkup peradilan; kedua: pengawasan terhadap tingkah laku dan perbuatan para hakim; ketiga: meminta keterangan mengenai teknis peradilan; keempat: mempunyai kewenangan untuk memberikan petunjuk, tegoran dan peringatan yang diperlukan.
Fungsi Legislasi adalah membuat berbagai peraturan dan kebijakan untuk menindaklanjuti dan melengkapi kekurangan atau kekosongan hukum secara proaktif kepasda lembag tinggi negara terhadap hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak, memberikan usulan dan pertimbangan hukum kepada Presiden untuk grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi.
Fungsi Administrasi adalah mengelola hal-hal yang berkaitan dengan keorganisasian, keuangan dan administrasi kelembagaan yaitu antara lain rekrutmen , mutasi, promosi, penganggaran, penggajian dana masa kerja.
3. Kedudukan MA sebagai Peradilan
Kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradialn guna mewujudkan keadilan dan menegkakan hukum demi terselenggaranya Negara Hukum.
Mahkamah Agung adalah peradilan tertinggi dari semua lingkungan peradilan lainnya seperti Peradilan Umum, Agama, militer dan Tata Usaha Negara maupun peradilan lainnya.
Mahkamah Agung adalah lembaga peradilan yang mempunyai kedudukan terlepas dan terpisah dari pengaruh kekuasaan negara lainnya.

4. Sistem dan Prasyarat Peradilan yang Fair dan Efisien
  1. peradilan terbuka untuk umum dilaksanakan oleh pengadilan yang berwenang;
  2. peradilan menempatkan semua orang sama dimuka hukum dan menjamin terlaksananya rule of law;
  3. pemeriksaan dilakukan dengan adil dan tidak memihak sesuai dengan fakta-fakta dan dengan menerapkan prinsip-prinsip hukum yang baik dan benar;
  4. peradilan dilakukan sederhana, cepat, biaya ringan;
  5. peradilan dilakukan sesuai dengan jurisdiksinya;
  6. segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang;
  7. peradilan menjamin perlindungan, penghormatan dan pelaksaan hak asasi manusia;
  8. peradilan harus membantu para pencari keadilan untuk mengatasi segala hambatan agar tercapai kebenaran dan keadilan serta terlaksanaya butir pertama hingga ketujuh.

5. Administrasi Pelayanan Peradilan
Administrasi peradilan dimaksudkan untuk memerangi kelambanan dan kongesti perkara. Ada lima esensial pokok, yaitu pertama: harus ada :” Court structure” yang sederhana dan integratif; kedua: peradilan tertinggi harus punya kewenangan untuk mengatur kebijakan umum bagi semua peradilan dibawahnya, bisa dibuat melalui judicial conference; ketiga : harus ada “flow chart” proses penanganan perkara denagn mengemukakan tenaga waktu dalam proses pelaksanaan; keempat : pembayaran semua cost untuk administrasi pengadilan dibuat transparan dan dilakukan melalui bank; kelima: harus ada public mechanism control untuk memantau prosedur penanganan perkara.

6. Susunan Struktur MA
Susunan MA terdiri dari Pimpinan dan Anggota, Hakim Agung yang menjalankan fungsi judicial review, suprevisi, konsultatief dan legislasi, Sekertaris Jenderal dan Panitera yang menjalankan fungsi administrasi. Dalam garis koordinatif ada lembaga Majelis Kehormatan Kode Etik adan Majelis Kehormatan Non Etik.

7. Pola Rekrutmen MA
Sistem rekrutmen Hakim Agung harus bersifat terbuka, maksudnya selain dari hakim karier maka dimungkinkan juga para hakim bersalah dari lingkungan para penegak hukum lain yang terdapat dalam lingkungan criminal justice system seperti advokat, kejaksaan dan kepolisian. Pola dan proses rekruetmen, mutasi, promosi dan jenjang kepangkatan Hakim diserahkan kepada mekanisme internal MA.
Hakim Agung dipilih dan diberhentikan langsung oleh DPR berdasarkan usulan-usulan langsung dari rakyat dan lembaga profesi hukum. Pemilihan dan pengangkatan hakim agung harus menjamin bahwa para kandidat mempunyai kemampuan, integritasnya tinggi , kemandirian dan berpengalaman, selain profesional, jujur, bersih dan berwibawa. Kandidat terbaiklah yang dapat menduduki jabatan.
Pimpinan dan anggota diangkat oleh MPR secara bebas dan rahasia disahkan oleh presiden sebagai Kepala Negara Hakim Agung diangkat oleh DPR.
Pemilihan calon tidak boleh didasarkan atas diskrimasi berdasarkan ras, suku, agama warna kulit, sex dan aliran politik.
Prosedur pengangkatan harus diatur jelas dan mudah diketahui oleh publik.
Promosi hakim haruslah dilakukan sesuai dengan merit system dengan memperhatikan kemampuan, integritas, kemandirian dan pengalaman.

Hakim hanya bisa diberhentikan apabila terbukti, tidak mampu melakukan tindak pidana melakukan tindakan dan kelakuan tidak sesuai serta bertentangan dengan martabat dan kedudukanya sebagai hakim dengan memberikan kesempatan yang cukup untuk melakukan pembelaan diri.

8. Pola Pendidikan Hukum bagi Hakim Dan Para Penegak Hukum Lainnya
Perilaku suatu program pendidikan hukum terpadu bagi para penegak hukum seperti hakim, penuntut umum dan advokat sebelum profesi yang diminatinya dalam kurun waktu terteuntu. Dalam pendiidkan itu sleain peningkajtan pengetahuan hukum juga perlu dikemukakan mengenai visi, peran, posisi dan komitmen moral hakim dalam penegakan hukum dan mewujudkan supremasi hukum. Proses magang juga harus diterapkan sebelum mereka menduduki jabatan hakim.
9. Pusat Pendidikan Hukum
Diperlukan pusat pendidikan untuk menigkatkan kemampuan pengetahuan hakim dan untuk mengantisipasi berbagai perkembangan hukum dan tindak kriminal, khususnya White Colour Crime. Perlu ada Short Cource Program untuk peningkatan dan spesialisasi minat hakim atas suatu issu tertentu.
10. Kode Etik Dan Non Etik Profesi
Hakim harus mempunyai kode etik Profesi, Majelis Kehormatan Kode Etik dan Majelis Kehormatan Non Etik Majelis Impeacment Peradilan. Dalam komposisi dio Majelis Kehormatan Non Etik serta Majelis Impeacment harus ada wakil dari para penegak hukum lainnya dan prominent publik figur yang mempunyai integritas dan kapabilitas dalam bidang hukum.
Kalau ada hakim yang melanggar kode etik, maka Majelis Kehormatan etik mengambil sikap dan putusan, kemudian meminta Ketua MA untuk mempertimbangkan dan mengesahkan putusannya dan DPR yang bertindak melakukan pemberhentian. Kalau Ketua dan Anggota MA yang melakukan pelanggaran, Majelis Kehormatan Etik memeriksanya kemudian mengambil sikap dan putusan, kemudian meminta lembaga Impeachment untuk mempertimbangkan dan mengesahkannya MPRlah yang akan bertindak melakukan pemberhentian.
Tindakan hakim yang tidak menyangkut soal etik namun berkaitan dengan kemampuan hakim, penjatuhan sanksi pidana serta tindakan/kelakuan yang bertentangan dengan martabat dan kedudukannya sebagai hakim diperiksa sebagai oleh Majelis Kehormatan Hakim Non Etik. Majelis akan memeriksa, mengambil sikap dan putusan. Ketua MA akan mengesahkannya dan DPR yang bertindak melakukan pemberhentian. Kalau Ketua dan Anggota MA yang melakukan pelanggaran itu, maka Majelis Kehormatan akan memeriksanya, kremudian mengambil sikap dan putusan, kemudian meminta lembaga Impeachment untuk mempertimbangkan dan mengesahkannya, MPRlah yang akan bertindak melakukan pemberhentian.

11. Prosedur Pemeriksaan dan Penerapan Sanksi
Perlu dibuat Lembaga Pengaduan dari masyarakat terhadap fungsi Judicial dan perilaku hakim yang melanggar dan bertentangan martabatnya sebagai hakim.
Perlu dibuat struktur, prosedur dan mekanisme bagi lembaga Majelis Kehormatan Kode Etik dan Non Etik serta Lembaga Impeachment Peradilan. Begitupun pola pemeriksaan dan penerapan sanksinya.

12. Eksaminasi dan Publikasi putusan MA
Diperlukan suatu mekanisme yang mengatur program eksaminasi, yaitu penilaian para hakim oleh atasannya dan atau tim yang ditunjuk khusus itu atas keputusan-keputusan hakim (apalagi perkara yang mendapat atensi publik) yang dibuat oleh para hakim dalam kurun waktu tertentu.
Eksaminasi dibuat secara transparan dan sedapat mungkin membuka ruang partisipasi dari aparat penegak hukum lainnya. Program ini juga untuk menilai kemampuan dan prestasi seorang hakim untuk keperluan promosi dan peningkatan jenjang kepangkatan, selain untuk melacak, apakah terjadi praktek kolusi dan manipulasi putusan dalam suatu perkara.

13. Contempt of Court
Untuk menjamin penyelenggaraan peradilan yang baik agar mampu mewujudkan keadilan dan menegakan hukum, diperlukan peraturan perundangan yang mengatur mengenai penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan dan martabat serta kehormatan peradilan.



14. Perencanaan Kebijakan dan Harmonisasinya
Perlu dihapuskan berbagai badan yang bertentangan dengan prinsip kebebasan kekuasaan kehakiman dan supremasi MA, seperti MAHKEJAPOL, MAHDEP, Badan Sengketa Peradilan Pajak.
Perlu dihapuskan dan diharmonisasikan berbagai perundangan dan kebijakan yang bertentangan prinsip dan sifat kebebasan kekuasaan kehakiman, baik yang bersifat materiil dan prosedural.

15. Judicial Condition (Fasilitas dan Infrastruktur Aparat Penegak Hukum)
Hakim harusah diberi jaminan untuk mendapat penghasilan yang tinggi, diberikan persyaratan dan jaminan kerja, bahkan harus diberikan prioritas pembiayaan untuk menegakan rule of law dan perlindungan terhadap hak azasi.
Eksekutif dan keamanan harus memberikan jaminan perlindungan dan keamanan yang maksimal bagi hakim dan keluarganya.
Fasilitas dan penghasilan hakim tidak bisa dipakai untuk menekan dan mengancam hakim dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Hakim harus mendapatkan jaminan kekebalan dari gugatan perdata untuk kerugian dan putusan pidana, karena tindakan yang kurang benar atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas peradilan.

16. Standarisasi dan Modernisasi Perpustakaan
Lembaga ini lebih dimaksudkan untuk menyediakan berbagai sarana informasi yang memungkinkan hakim bisa membuat keputusan sesuai prinsip hukum yang baik dan benar sehingga akan mendorong tercapainya salah satu fungsi peradilan, yaitu sebagai benteng terakhir bagi pencari keadilan untuk menegakan keadilan dan kebenaran.

17. Forum Pemantau Kekayaan Hakim
Forum ini lebih dimaksudkan sebagai instrumen untuk memantau hakim agar mereka menggunakan kewenangannya sesuai kewajiban hukum yang seharusnya dilakukan bukan karena imbalan ekonomis atau politis tertentu. Dengan begitu akan ada atmosfir yang kondusif untuk menjaga integritas, komitmen, dan nurani hakim untuk bersikap dan bertindak sesuai martabat dan kedudukannya.
18. Judicial Watch
Komisi ini dimaksudkan untuk mendorong partisipasi dan apresiasi masyarakat untuk terlibat dalam proses penerapan hakim melalui pemantauan yang intensif atas berbagai proses persidangan yang mendapatkan atensi publik yang besar. Dalam proses ini perlu diintroduksi suatu lembaga observer yang secara formal dan informal memantau proses persidangan juga perlu dibentuk suatu kelompok atau komisi Anotasi yang membuat komentar dan analisis persidangan dan keputusan peradilan tanpa harus mengintervensi proses yudicial. Forum ini dimaksudkan juga sebagai bagian dari kontrol sosial rakyat terhadap proses persidangan untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran.

Daftar Pustaka :
  1. Tim BPHN, Laporan Tim Perumusan Harmonisasi Hukum Tentang Kekuasaan Kehakiman.
  2. Indriyanto Seno Adji, Menuju Peradilan yang Independen: Suatu Tela’ah Problematik.
  3. IKAHI, Memorandum Ikatan Hakim Indonesia.
  4. Makalah, Posisi Mahkamah Agung Dalam Ketatanegaraan: Sekarang dan Seharusnya;
  5. Studi Bappenas, Studi Diagnotis Prekembangan Hukum di Indonesia;
  6.  Mahkamah Agung, Usul Perubahan Beberapa pasal Undang-Undang No 14 Tahun 1970;
  7. Benny K. Harman, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan di Indonesia;
  8. Menyingkap Kabut Peradilan Kita; Menyoal Kolusi di Mahkamah Agung;
  9. Wirjono Prodjodikoro, Asas- asas Ilmu Negara dan Politik;
  10. Soehino, Hukum Tata Negara, Sistem Pemerintahan Negara;
  11. Preamble To Statement Of Principles Of The Independence of The Judiciari;
  12. Universal Declaration of Human Rights;
  13. International Convenant on Civil and Political Rights;
  14. Berbagai Media Masa, Antara Lain Melalui : Pusat Informasi Kompas


Etnonasionalisme Dalam Bingkai NKRI


budaya Indonesia
Menyikapi kesadaran politik masyarakat di Wilayah Timur Indonesia yang merasa senasib sepenanggungan karena sama-sama “dijajah pulau Jawa”, melahirkan sebuah pertanyaan akan adakah Indonesia di tahun-tahun mendatang? Atau, akankah ia berubah menjadi pecahan negara-negara kecil? Apa yang dapat kita lakukan untuk segera mengatasi persoalan ini? Apakah Pemerintah harus mengambil langkah-langkah represid? Untuk menjawab pertanyaan di atas tentu tidak bisa ditarik ke titik kontinum benar atau salah, namun harus dilihat secara komprehensif dalam kerangka kausalitas. Selain itu, menelusuri relung-relung geneologi sejarah bangunan republik ini juga mutlak harus dilakukan agar tiap helai persoalan dapat tersingkap untuk kemudian dirajut kembali menjadi bangunan kebangsaan yang mensejahterakan segenap anak bangsa ini.

Indonesia Timur, Wilayah Panas
Pecahnya solidaritas berbangsa menjadi kepingan-kepingan kecil etno-nasionalisme di wilayah Indonesia timur itu sesungguhnya dipicu oleh hilangnya garansi rasa aman dan harpan akan kesejahteraan yang dirasakan masyarakatnya. Kesenjangan antarkawasan Indonesia bagian timur dengan Indonesia bagian barat adalah realitas yang tidak terbantahkan hingga ini. Upaya serius pemrintah untuk memperkecil kesenjangan itu hingga saat ini terkesan masih sebatas retorika belaka. Lebih jauh dari itu, disparitas yang terjadi antara dua wilayah itu sesungguhnya bukan hanya pada sektor ekonomi tapi juga sektor sosial, budaya, politik dan penegakan hukum dan HAM.
            Absennya keserasian antara kebijakam pemerintah yang digodok di pulau Jawa dengan kondisi masyarakat di Indonesia timur itu kemudian memunculkan konflik vertika yang berdampak pada memburuknya rasa solidaritas berbangsa. Situasi seperti ini telah membuat Negara mengalami delegitimasi di mata masyarakat sendiri. Akibatnya, sebagian dari mereka beranggapan bahwa negara sebagai lembaga yang terpisah dan asing dari komunitasnya.
            Bagi komunitas etnik tertentu misalnya yang ada di Indonesia timur, misalnya di Nusa Tenggara Timur, identitas kebangsaanyang melekat pada negara dipahami tidak lebih sebagai identitas kebangsaan imajiner disamping realitas identitas kebangsaan lain yang juga melekat pada masing-masing komunitas etnik yang menurut mereka lebih riil. Akibat ketidakpuasaan terhadap negara bermunculan dalam berbagai bentuk protes. Pada titik ekstrim, sebagian masyarakat di daerah tersebut muncul kecenderungan untuk merajut kembali nasionalisme lokal karena di mata mereka nasionalisme nasional telah gagal dalam memenuhi hak –hak mereka sebagai warga negara.
            Gejala seperti itu merupakan usaha untuk menarik kembali nasionalisme nasional kedaerahan. Sesungguhnya gerakan ini memiliki tipologi yang sama, yakni menunjukkan kecendrungan menjadikan etnik sebagai identitas nasinal baru. Tindakan seperti inilah yang kerap disebut sebagai etnonasionalisme atau nasionalisme etnis yaitu nasionalisme yang bertumpu pada etnisitas. Gerakan tersebut menanggalkan identitas kebangsaan sebagai bangsa Indonesia. Sebaliknya, lebih menonjolkan identitas suku bangsa atau etnis sebagai perekat. Perkembangan bangkitnya etnonasionalisme tersebut tentunya sangat memprihatinkan bagi persatuan nasional karena dapat mendorong disintegrasi bangsa.
            Namun untuk memasukkan gerakan-gerakan etnonasionalisme tersebut sebagai ancaman bagi “natinal security”, sehingga harus diberangus, variabel-variabelnya harus dirumuskan secara jelas, demokratis, dan mempertimbangkan berbagai aspek. Selain itu, mempertimbangkan hukum kausalitas menjadi sangat penting karena ia berada dalam garis yang linear. Menafikan akibat tidak sama artinya dengan menyelesaikan sebab. Ketika kebijakan tidak sensitif akan hukum kausalitas ini maka fenomena ancaman yang berulang akan selalu menjadi wakah suram dari bangsa ini. Untuk itu, penyebab ancaman menjadi penting untuk dapat melihat apakah ancaman itu muncul secara alami sebagai akibat dari perubahan demografi politik dan orientasi kultural di tengah masyarakat atau sebagai reaksi dari ketidakmampuan negara untuk mencapai tujuannya dengan menyediakan ruang demokrasi dan memenuhi pelayanan publik.

Latar sejarah
Dengan menelusuri kembali lembaran sejarah bangsa ini, kita dapat melihat bahwa proses etno-nasional menjadi nasionalisme nasional dibangun atas dasar kesadaran dan kesukarelaan dan tanpa ada pemaksaan yang menggunakan senjata sama sekali. Perubahan nasional kesukuan menjadi nasionallisme Indonesia tersebut adalah sebuah hasil dari pemilihan yang rasional untuk bersatu dalam konteks keragaman. Bangsa ini lahir melalui proses perdebatan yang diawali atas usulan perhimpunan Indonesia (1924) dan kemudian itu mendapat pengesahan dalam Sumpah pemuda (1928) bernama Indonesia. Jadi, semagat untuk bersatu masyarakat kesukuan menunjukan nasionalisme itu bukanlah suatu yang statis melainkan terus berubah dan dinamis sesuai perkembangan. Dengan demikian, maka terbentuknya nasionalisme Indonesia adalah benar-benar keinginan bersama.
         Ironisnya ,keragaman itu di paksakan untuk bertransformasi menjadi keseragaman. Pemhaman Negara bangsa (nation-state) yang selama ini dipahami dan dipraktekan di Indonesia dengan mengedepankan keseragaman sesungguhnya merupakan penekanan terhadap bangsa-bangsa dalam negara ini dibawah satu identitas kultural tertentu. Dan hal itu tentu sangat bertentangan dengan sejarah dibentuknya negara ini. Karena itu pemahaman negara bangsa (nation-state) sudah harus bertransformasi menjadi negsra bangsa- bangsa (nations-state).
         Karenanya, pemerintah tidak bisa dengan mengatasnamakan keamanan untuk memberangus gerakan-gerakan etnonosionalisme seperti ini. Yang selama ini terjadi, kegiatan-kegiatan yang dilakukan atas nama menjaga keamanan dan keselamatan negara dianggap mempunyai legitimasi untuk melakukan apa saj karena berangka dari pemahaman tafsiran keamanan oleh negara yang secara sempit diartikan sebagai pengamanan. Represi yang dilakukan negara terhadap rakyatnya sendiri atas nama keamanan seakan mendapat legitimasi dari tafsiran keamanan tersebut. karena itu, konotasi kata “aman” kadang merupakan momok yang sangat menakutkan bagi kebanyakan orang karena diamankan sama artinya dengan dilenyapkan.

Tugas Hari Ini
Berhubungan dengan hal itu, dalam melihat ancaman terhadap “national security”, harus merujuk pada tujuan didirikannya negara. Dalam UUD 1945, tujuan didirikannya negara ini terhimpun dalam suatu rumusan yaitu: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketrtiban dunia yang berdasarkan kemerdekaa, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
            Namun penafsiran terhadap tujuan negara itu harus disadari dengan paham etis-politis sehingga tidak terjadi penafsiran dengan blue print sepihak oleh kelompok yang sedang berkuasa. Kita dapat bersepakat bahwa penafsiran tujuan negara itu akan mengerucut kepada empat kesimpulan yaitu, justice, welfare, security, dan peace. Dalam konteks sekarang, kita sepakat bahwa tujuan nasional adalah: pertama, mempertahankan inyegritas dan kedaulatan wilayah (territorial integrity and sovereignty). Kedua, pemerataan (welfare justice). Ketiga, memelihara integritas sosial yang didasari atas pluralisme atnis, agama dan pandangan politik (maintenance of social integrity). Keempat, pemeliharaan lingkungan eksternal yang damai.
            Core values di atas yang harus jadi tolok ukur kapan saatnya negara mendapatkan ancaman. Dengan menggunkan logika terbalik, setiap perilaku yang mengancam tujuan negara, maka subjeknya dapat dimasukkan kedalam kategori ancaman terhadap negara. Sebab-sebab ancaman dari dalam negara itu sesungguhnya berbanding lurus dengan ktidakemampuan kita dalam mewujudkan tujuan berdirinya negara Indonesia. Pada saat yang sama hal itu bukti akan keluhuran tujuan didirikannya negara Indonesia ini.
            Karena itu, transformasi politik yang telah bherlangsung selama kurang lebih tujuh bhelas tahun harus mampu melakukan redefinisi terhadap strategi keamanan nasional dengan memasukan komponen-komponen keamanan manusia (human security) seperti yang sudah dimuat dalam UUD 1945. Redefensi konsepsi strategi keamanan nasional itu harus sampai pada level perumusan paling praktis. Jika hal itu absen dalam proses transisi demokrasi ini, maka trasnsisi menuju demokrasi yang sedang berjalan ini bisa berbalik arah menjadi sebuah siklus yang berputar menuju otoritarianisme kembali dan pemerintah sendiri akan menjadi ancaman bagi “natinal secutiy”.

            Untuk itu, dibutuhkan suatu kondisi yang membuat warga negara merasa nyaman tinggal di negaranya. Kondisi itu adalah pertama, economic security, adanya kesempatan untuk memperbaiki hidup menjadi lebih baik dan tidak adanya ketimpangan ekonomi. Kedua, political security dalam hal ini masyarakat tidak dihadapkan dengan prtection of basic human rights and freedom. Ketiga, community security, adanya garansi terhadap pengembangan cultural dan etnic identity , ketiga hal itu akan menumbuhkan rasa nyaman masyarakat bangsa ini untuk betah berlama-lama terintegrasi dalam negara yang bernama Indonesia. Ketika ada yang mengusik keamanan negara maka sama artinya dengan mengusik rasa aman masyarakat negara itu dan keamanan itu adalah nilai yang harus mereka pertahankan.

Pendidikan Yang Membebaskan

Keadaan banyak masyarakat di negeri kita masih berada pada masa kehidupan yang sulit, begitu pula kita sebagai bangsa meski sudah enam dekade kita merdeka. Pendidikan yang diharapkan mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat dan bangsa pun dalam banyak bentuk hanya menjadi wahana transfer of knowledge belaka, dan seperti kata Freire membelenggu, karena pendidikan disetting hanya untuk memenuhi aspek kepentingan pasar, sehingga gagal menghadapi dinamika perubahan sosial yang ada dan senantiasa dipecundangi oleh kepentingan penguasa pasar (Kapitalisme Pendidikan).
Pada situasi inilah kita benar-benar membutuhkan pendidikan yang mampu memerdekakan dengan idealisme dan semangat juang untuk tidak mau menjadi pecundang agar dapat menularkan paradigma itu pada siswanya, penerus negeri ini di masa depan dengan pembelajaran yang dia berikan agar negeri ini tidak lagi menjadi pecundang.
Sejatinya, pendidikan adalah pembebasan-pembebasan dari belenggu kemiskinan,  penindasan, dan kebodohan sehingga manusia menjadi manusia yang seutuhnya bebas merdeka dalam berpikir, bersuara, dan bertindak. Pendidikan adalah upaya pengenalan diri mengenal potensi diri, jalan hidup, dan tujuan hidup untuk melayani dan mengabdikan diri bagi kehidupan masyarakat supaya kehadirannya di dunia ini mempunyai makna. Pendidikan adalah fondasi dan simbol kekuatan benteng fondasi bangunan bangsa.
Karena itu, Pendidikan yang membebaskan harus dapat membongkar penindasan yang terjadi karena sistem pendidikan yang malah mendehumanisasi manusia. Proses pendidikan kita saat ini dalam kaca mata Freirean secara tidak sadar menindas dan membelenggu karena pendidikan kita makin jauh dari realitas atau unreality. Pendidikan kita tidaklah berangkat dari satu realitas masyarakat didalamnya, bahkan dapat dikatakan jauh dari realitas. Sebagai contoh, realitas kehidupan kita sebagian besar ada di pedesaan dan bekerja di ladang pertanian. Tetapi, kenyataan tersebut tidak digarap dengan baik di setiap jenjang pendidikan kita, baik dalam proses pembelajaran maupun dalam kegiatan riset.
Realitas ekonomi masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih berada dalam kategori miskin dan terbelakang tidak dijadikan bahan pijakan untuk menentukan sistem pendidikan di Indonesia. Sekolah sekarang lebih mirip sebagai industri kapitalis daripada sebagai pengemban misi sosial kemanusiaan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, seperti yang tercantum dalam konstitusi bangsa
 Fungsi sekolah yang sejatinya mengemban misi agung sebagai pencerdas kehidupan bangsa, kini tak ubahnya lahan bisnis untuk memperoleh keuntungan. Akibatnya, hanya kelompok elit sosial-lah yang yang mendapatkan pendidikan yang cukup baik. Kaum miskin menjadi kaum marjinal secara terus-menerus. Merekalah yang disebut Paulo Freire sebagai “korban penindasan”.
Proses penindasan yang sudah mewabah dalam berbagai bidang kehidupan semakin mendapat legitimasi lewat sistem dan metode pendidikan yang paternalistik, murid sebagai obyek pendidikan, intruksisional dan anti dialog. Dengan demikian, pendidikan pada kenyataannya tidak lain daripada proses pembenaran dari praktek-praktek yang melembaga. Secara ekstrim Freire menyebutkan bahwa sekolah tidak lebih dari penjinakan. Di giring ke arah ketaatan bisu, dipaksa diam dan keharusannya memahami realitas diri dan dunianya sebagai kaum yang tertindas. Bagi kelompok elit sosial, kesadaran golongan tertindas membahayakan keseimbangan struktur masyarakat hierarkis piramidal.
            Pendidikan Gaya Bank
Menurut Paolo Freire, mengungkapkan bahwa proses pendidikan – dalam hal ini hubungan guru-murid – di semua tingkatan identik dengan watak bercerita. Murid lebih menyerupai bejana-bejana yang akan dituangkan air (ilmu) oleh gurunya. Karenanya, pendidikan seperti ini menjadi sebuah kegiatan menabung. Murid sebagai “celengan” dan guru sebagai “penabung”. Secara lebih spesifik, Freire menguraikan beberapa ciri dari pendidikan yang disebutnya model pendidikan “gaya bank” tersebut:
  1. Guru mengajar, murid diajar.
  2. Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa.
  3. Guru berpikir, murid dipikirkan.
  4. Guru bercerita, murid mendengarkan.
  5. Guru menentukan peraturan, murid diatur.
  6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui.
  7. Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya.
  8. Guru memilih bahan dan ini pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.
  9. Guru mencampuradukan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid.
  10. Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka.
Sistem Pendidikan
Proses pendidikan baik formal maupun nonformal pada dasarnya memiliki peran penting untuk melegitimasi bahkan melanggengkan sistem dan struktur sosial yang ada. Namun juga sebaliknya, dapat merupakan proses perubahan sosial menuju kehidupan yang lebih adil. Peran pendidikan terhadap sistem dan struktur sosial tersebut sangat bergantung pada paradigma pendidikan yang mendasarinya. Dalam Fakih (2001), dijelaskan paradigma tersebut:
  1. Paradigma Konservatif
Bagi kaum konservatif, ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami, suatu hal yang mustahil dihindari (takdir), bahwa memang ada masalah di masyarakat, Tetapi bagi mereka, pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Dengan keyakinan seperti itu, tugas pendidikan juga tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan politik dan ekonomi. Karena itu paradigma pendidikan yang lebih berorientasi pada pelestarian dan penerusan pola-pola kemapanan sosial serta tradisi. Paradigma pendidikan konservatif sangat mengidealkan masa silam sebagai hal yang ideal dalam pendidikan.
2.      Paradigma Liberal
Kaum liberal selalu berusaha untuk menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan, dengan jalan memecahkan berbagai masalah yang ada dalam pendidikan dengan usaha reformasi kosmetik. Konsep pendidikan dalam tradisi liberal berakar dari cita-cita Barat tentang individualisme. Karenanya pendidikan yang berorientasi mengarahkan peserta didik pada prilaku-prilaku personal yang efektif, dengan mengejar prestasi individual. Sehingga yang terjadi adalah persaingan individual yang akan mengarahkan peserta didik pada individualisme dan tidak melihat pendidikan sebagai proses pengembangan diri secara kolektif.
3.      Paradigma Kritis
Paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat di mana pendidikan berada kritis dalam pendidikan melatih murid untuk mampu mengidentifikasi ‘ketidakadilan’ dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis tentang proses kerja sistem dan struktur, serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas pendidikan dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar peserta pendidikan terlibat dalam suatu  proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.
Implikasi Pada Tingkat Kesadaran
Implikasi ketiga pandangan pendidikan tersebut terhadap metodologi pendekatan pendidikan dapat dilihat dari analisis Freire (1970) yang membagi ideologi pendidikan dalam tiga kerangka yang didasarkan pada kesadaran ideologi masyarakat. Proses dehumanisasi terbangun dalam kesadaran yang dibangun manusia  sendiri:
  1. Kesadaran Magis
Yaitu jenis kesadaran yang tak mampu mengkaitkan antara satu faktor dengan faktor lainnya sebagai hal yang berkaitan. Kesadaran magis lebih melihat faktor diluar kesadaran manusia sebagai penyebab dari segala kejadian. Hasil dari paradigma konservatif.
2.      Kesadaran Naif
Yaitu jenis kesadaran ini menganggap aspek manusia secara individulah yang menjadi penyebab dari akar permasalahan. Sebagai hasil atau antitesisnya paradigma liberal.
3.      Kesadaran Kritis
Yaitu jenis kesadaran yang melihat realitas sebagai satu kesatuan yang kompleks dan saling terkait satu sama lain. Hasil dari paradigma kritis.
Pendidikan Hadap Masalah untuk Transformasi Sosial
Bagi Freirean, hakekat pendidikan yang membebaskan dapat dicapai dengan dengan membangkitkan kesadaran kritis. Visi kritis pendidikan terhadap sistem yang dominan sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk mencipta sistem sosial baru dan lebih adil, selalu menjadi agenda pendidikan. Dalam perspektif kritis, pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan keritis untuk transformasi sosial. Dengan kata lain tugas utama pendidikan adalah ‘memanusiakan’ kembali manusia yang mengalami “dehumanisasi” karena sistem dan struktur yang tidak adil.
Dalam mentransformasikan gagasan tersebut menjadi metode praksis pembelajaran, khususnya secara pedagogis. Freire menawarkan bahwa sesungguhnya pendidikan semestinya dilakukan secara dialogis. Proses dialogis ini merupakan satu metode yang masuk dalam agenda besar pendidikan Paulo Freire yang disebutnya sebagai proses penyadaran (konsientisasi) atas realitas timpang yang sedang terjadi di lingkungannya dalam hal ini disebut pendidikan hadap masalah sebagai antitesis pendidikan gaya bank.
Pada pendidikan gaya bank, murid bisa menjadi objek yang ditentukan oleh guru, sehingga realitas menjadi jauh. Bagi Freire, guru dan murid sama-sama subjek sadar dari sebuah pendidikan, dan realitas adalah objeknya, guru hendaknya menjadi seorang fasilitator, motivator, teman, dan transformator dalam proses bersama murid secara dialogis menemukan kesadaran atas realitas dan masalah yang sebenarnya dihadapi tidak hanya menghafal materi yang sudah diciptakan, tapi memahami. Atas kesadaran bersama atas ketimpangan dan realitas itulah guru dan murid, dapat menjadi bagian dari sebuah transformasi sosial di lingkungannya.
            Pemikiran & Praksis Pendidikan Kaum Tertindas di Indonesia
Semangat pendidikan yang membebaskan kaum tertindas tentunya memang diperlukan di negara dunia ketiga seperti Indonesia dimana ketimpangan sosial ekonomi dan pendidikan masih sangat tinggi, namun tentunya akan ada penyesuaian bagaimana konsep tersebut akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Pada kenyataannya, pemikiran mengenai pendidikan yang membebaskan juga telah jauh dikumandangakn banyak pemikir-pemikir Indonesia yang melihat kondisi masyarakat Indonesia khususnya pada masa perjuangan kemerdekaan, seperti pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara & Tan Malaka, pada masa kekinian pun dimana ketimpangan masih terjadi pendidikan-pendidikan alternatif juga bermunculan untuk membebaskan pendidikan dari belenggu penindasan.
1.      Ki Hajar Dewantara & Perguruan Taman Siswa
Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
Tamansiswa adalah badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat yang menggunakan pendidikan dalam arti luas untuk mencapai cita-citanya. Bagi Tamansiswa, pendidikan bukanlah tujuan tetapi media untuk mencapai tujuan perjuangan, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka lahir dan batinnya. Merdeka lahiriah artinya tidak dijajah secara fisik, ekonomi, politik, dsb; sedangkan merdeka secara batiniah adalah mampu mengendalikan keadaan.
Tamansiswa anti intelektualisme; artinya siapa pun tidak boleh hanya mengagungkan kecerdasan dengan mengabaikan faktor-faktor lainnya. Tamansiswa mengajarkan azas keseimbangan (balancing), yaitu antara intelektualitas di satu sisi dan personalitas di sisi yang lain. Maksudnya agar setiap anak didik itu berkembang kecerdasan dan kepribadiannya secara seimbang.
Tujuan pendidikan Tamansiswa adalah membangun anak didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, merdeka lahir batin, luhur akal budinya, cerdas dan berketerampilan, serta sehat jasmani dan rohaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air, serta manusia pada umumnya.

Pendidikan Tamansiswa dilaksanakan berdasar Sistem Among, yaitu suatu sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan. Sistem Among tersebut berdasarkan cara berlakunya disebut Sistem Tutwuri Handayani. Dalam sistem ini orientasi pendidikan adalah pada anak didik, yang dalam terminologi baru disebut student centered. Di dalam sistem ini pelaksanaan pendidikan lebih didasarkan pada minat dan potensi apa yang perlu dikembangkan pada anak didik, bukan pada minat dan kemampuan apa yang dimiliki oleh pendidik.
Pendidikan Tamansiswa berciri khas Pancadarma, yaitu Kodrat Alam (memperhatikan sunatullah), Kebudayaan (menerapkan teori Trikon), Kemerdekaan (memperhatikan potensi dan minat maing-masing indi-vidu dan kelompok), Kebangsaan (berorientasi pada keutuhan bangsa dengan berbagai ragam suku), dan Kemanusiaan (menjunjung harkat dan martabat setiap orang).
            2.      Tan Malaka & Sarekat Islam School
Sarekat Islam (SI) School didirikan Tan Malaka pada tahun 1921. Berdirinya SI School pada masa menentang kolonial Belanda memiliki maksud memberikan pendidikan alternatif atas pendidikan Belanda di negeri ini atas dasar politik etis yang tidak sesuai realitas dan menindas. Landasan pemikiran Tan Malaka adalah: Kekuasaan Kaum Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan dan Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan. Tujuan Sekolah ini seperti tercantum dalam buku Tan Malaka SI Semarang dan Onderwijs (1921):
1.             Memberi senjata cukup, buat pencari penghidupan dalam dunia kemodalan (berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa, Melayu, dsb).
2.             Memberi Haknya murid-murid, yakni kesukaan hidup, dengan jalan pergaulan (verenniging)/organisasi.
3.             Menunjukan kewajiban kelak, terhadap pada berjuta-juta Kaum Kromo. Bahwa, murid-murid kita kelak jangan hendaknya lupa pada berjuta-juta Kaum Kromo, yang hidup dalam kemelaratan dan kegelapan. Bukanlah seperti pemuda-pemuda yang keluar dari sekolah-sekolah biasa (Gouvernement) campur lupa dan menghina bangsa sendiri.



Metode yang digunakan:
1.                  Di sekolah anak-anak SI mendirikan dan menguruskan sendiri pelbagai-bagai vereeniging, yang berguna buat lahir dan batin (kekuatan badan dan otak). Dalam urusan vereeniging-vereeniging tadi anak-anak itu sudah belajar membikin kerukunan dan tegasnya sudah mengerti dan merasa lezat pergaulan hidup.
2.                  Di sekolah diceritakan nasibnya Kaum Melarat di Hindia dan dunia lain, dan juga sebab-sebab yang mendatangkan kemelaratan itu. Selainnya dari pada itu kita membangunkan hati belas kasihan pada kaum terhina itu, dan berhubung dengan hal ini, kita menunjukkan akan kewajiban kelak, kalau ia balik, ialah akan membela berjuta-juta kaum Proletar.
3.                  Dalam vergadering SI dan Buruh, maka murid-murid yang sudah bisa mengerti, diajak menyaksikan dengan mata sendiri suaranya kaum Kromo, dan diajak mengeluarkan pikiran atau perasaan yang sepadan dengan usianya (umur), pendeknya diajak berpidato.
4.                  Sehingga, kalau ia kelak menjadi besar, maka perhubungan pelajaran sekolah SI dengan ikhtiar hendak membela Rakyat tidak dalam buku atau kenang-kenangan saja, malah sudah menjadi watak dan kebiasannya masing-masing.
Singkatnya, Dalam praktek pendidikan di SI School, Tan Malaka mempraktekkan pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia. Murid yang bersekolah di sana diberikan hak-hak hidup “sebenarnya”, yakni kebebasan memilih dan mengeluarkan ekspresi minat dan bakatnya berupa lingkungan pendidikan yang sosial. Tan Malaka menolak adanya praktik diktator dari guru yang melarang murid untuk mengikuti kegiatan keorganisasian. Cara ini dilakukan agar murid mampu mengembangkan potensi dan menemukan kepercayaan dirinya.
 3.      Romo Mangun & SD Mangunan
Sekolah Dasar Mangunan didirikan pada 1994 untuk menerapkan ide-ide mendiang Romo Mangunwijaya. Sekolah ini menampung anak-anak jalanan, gelandangan, dan anak petani atau buruh. Mereka dididik dengan metode pendidikan modern yang lebih interaktif dan jauh dari indoktrinasi dengan mengadopsi muatan-muatan lokal.
SD Mangunan tidak banyak membebani murid-muridnya. Siswa hanya ditarik uang bulanan sebesar Rp 500 hingga Rp 1.000 tanpa ada biaya lain. Itu pun hanya sebagai bentuk partisipasi agar orang tua dan siswa merasa memiliki sekolah tersebut.
Pemikiran Pendidikan Romo Mangun menegaskan pendidikan harus mampu mengasah daya eksplorasi, kreativitas, dan nalar integral anak. Ketiga kata itu
  1. kata pertama, eksploratif. Kira-kira maksudnya membuat peserta didik senang mencari dan meneliti. Kaum periferi secara ekonomi sulit untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, oleh karena itu sejak usia muda mereka sudah harus dilatih untuk selalu mengasah rasa ingin tahu supaya dengan modal pendidikan dasar yang mereka miliki, rasa ingin tahunya bisa menuntun membantu mereka untuk,
  2. kata kedua, kreatif. Latih mereka menjadi manusia-manusia yang pintar mencipta. Kemampuan berkreasi mereka akan sangat membantu nantinya begitu “bersentuhan” langsung dengan kehidupan. Karena dengan jiwa kreator, sesorang akan tidak-akan pernah kehabisan ide untuk mencipta. Bagi anak yang lemah secara ekonomi jiwa kreator akan menjadi “modal” buat masa depannya, sedangkan bagi anak yang berbakat dan mampu secara ekonomi, jiwa kreator ini dimanfaatkan untuk kemajuan diri dan masyarakat.
  3. Kata ketiga, integral. Yang berkembang bukan hanya kemampuan kognitif intelektualitas perserta didik, tapi juga tidak boleh lupa untuk mengembangkan bakat-bakat lain seperti seni, olahraga, bahasa, budi pekerti, moral, citarasa, religiusitas, kesosialan, politik, dll. 
4. SMP Alternatif Qaryah Thayyibah
Sekolah Laernaif ini merupakan komunitas belajar yang awalnya didirikan oleh Serikat Petani Qaryah Thayyibah (SPQT) di Kalibening, Salatiga. Awalnya sekolah ini menjadi tempat belajar bagi anak petani di desa itu yang kekurangn biaya untuk sekolah. Metode yang digunakan sekolah alternatif ini bisa dibilang menakjubkan.
Hasil penelitian Susanto (2008) ini menunjukkan bahwa penerapan metode dialogis versi Paulo Freire dalam pembelajaran SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah terbagi menjadi 6 bagian, antara lain
(1) Perencanaan pembelajaran atau kurikulum yang digunakan SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah tidak berbeda dengan SLTP lain, karena sama-sama menggunakan kurikulum nasional (paket B). Kurikulum Paket B di SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah hanya dijadikan referensi dengan menekankannya pada model pendidikan alternatif yaitu: penekanan pemilihan persoalan yang bebas, penentuan kegiatan pembelajaran bersama, pemberian ijin kepada setiap individu menentukan pusat perhatian sendiri dalam belajar, dan setiap siswa memiliki kebebasan dalam menentukan sifat maupun isi apa yang dipelajarinya sendiri. Disini siswa mencari arti pengetahuan lewat dialog dengan fasilitator maupun dengan kawan-kawannya.
(2) Penentuan materi pembelajaran SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah dilakukan bersama-sama antara guru dan siswa diawal semester melalui dialog yang menjadi salah satu unsur yang sangat fundamental dalam pendidikan, sedangkan pokok bahasannya ditentukan sendiri oleh setiap siswa.
(3) Metode pembelajaran SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah menerapkan metode pendidikan hadap masalah, kegiatan pembelajaran selalu dimulai dengan dialog mengemukakan persoalan kepada siswa. Siswa dihadapkan langsung oleh guru pada masalah-masalah yang terjadi di lingkungan sekitar, sehingga siswa harus memberikan solusi dari masalah tersebut.
(4) Kegiatan evaluasi pembelajaran di SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah bersumber pada diri siswa sendiri. Evaluasi murni dilihat dari hasil karya siswa, sedangkan sistem raportnya dibuat sendiri oleh siswa yang berisi pernyataan siswa tentang apa yang sudah dipelajari selama satu semester dan hasil karya yang dihasilkan selama satu semester. Hasil karya dan pernyataan siswa tersebut kemudian didiskusikan didepan guru dan teman-teman sekelasnya.
(5) Interaksi antara guru dengan siswa di SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah berjalan dengan sangat harmonis. Semua guru di sekolah ini menempatkan dirinya sebagai sahabat, teman diskusi sekaligus fasilitator bagi siswa, sedangkan siswa menempatkan diri sebagai subyek yang harus aktif dalam proses pembelajarannya.
(6) Interaksi antara SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah dengan orang tua siswa dan masyarakat sekitar terjalin dalam suasana persahabatan. SLTP ini menggunakan kaidah lokalitas, dimana guru, siswa dan pengelola sekolah paham, mengetahui serta menyatu dengan persoalan sosial dimana pendidikan ini berada.

Kesimpulan
  1. Pendidikan yang membebaskan adalah pembebasan dari belenggu kemiskinan,  penindasan, dan kebodohan sehingga manusia menjadi manusia yang seutuhnya bebas merdeka merdeka dalam berpikir, bersuara, dan bertindak pendidikan adalah upaya pengenalan diri mengenal potensi diri, jalan hidup, dan tujuan hidup untuk melayani dan mengabdikan diri bagi kehidupan supaya kehadirannya di dunia ini mempunyai makna bagi transformasi masyarakatnya.
  2. Memahami pendidikan yang membebaskan harus dengan memahami realitas penindasan struktural yang terjadi melalui belenggu sistem pendidikan yang tidak adil.
  3. Pendidikan memiliki beberapa paradigma, paradigma konservatif dan liberal cenderung membelenggu dan mempertahankan proses penindasan yang terjadi, maka pendidikan secara kritis yang melihat hubungan struktural yang menyebabkan permasalahn sosial menjadi landasan pendidikan yang membebaskan.
  4. Semangat pendidikan yang membebaskan telah sejak lama hadir di negeri ini melalui para tokoh-tokoh pemikir bangsa yang berjuang memerdekakan bangsa Indonesia melalui pendidikan.
  5. Pendidikan yang membebaskan tentunya dalam penerapannya di negeri ini, berangkat dan menyesuaikan dengan nilai-nilai negeri ini.