NTT DALAM KEMISKINAN MULTIDIMENSI
SETIAP satu jam, seorang ibu hamil
meninggal karena melahirkan, juga 17 bayi dan anak balita. Kemiskinan adalah
salah satu penyebab utama tragedi menyedihkan tersebut. Dalam beberapa tahun
terakhir, anggaran untuk menanggulangi kemiskinan melampaui Rp 100 triliun dan
terus membesar. Namun, jumlah orang terangkat dari kemiskinan justru semakin
sedikit.
Saat ini, lebih dari 28 juta penduduk berada di bawah garis kemiskinan. Mistar
ukur garis kemiskinan adalah Rp 303.000 per bulan. Apabila pengeluaran di bawah
mistar tersebut, dikategorikan miskin. Mistar ini penting, tetapi tidak cukup.
Ibarat pengukur tekanan darah, alat tersebut diperlukan untuk indikasi awal
kesehatan, tetapi tidak cukup mendiagnosis apakah terkena sakit kanker,
jantung, kolesterol, asam urat, atau diabetes. Tentunya tindakan untuk setiap
penyakit tersebut bisa sangat berbeda.
Mistar ukur kemiskinan moneter mampu menunjukkan berapa jumlah orang miskin
dengan kategori di bawah mistar tersebut. Namun, apa saja hal prioritas yang
perlu dilakukan untuk mengatasi kemiskinan itu kurang mampu dijawab. Bahkan,
mencermati kemiskinan moneter saja dengan mengabaikan indikator kebutuhan dasar
manusia lainnya justru akan misleading.
Kasus Flores Timur
Data Indikator Kesejahteraan Daerah dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan (TNP2K) memperlihatkan Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah provinsi
dengan tingkat kemiskinan kelima tertinggi di Indonesia. Dari kabupaten dan
kota yang ada di NTT, Kabupaten Flores Timur adalah wilayah dengan tingkat
kemiskinan terendah. Tingkat kemiskinan Flores Timur hanya 9,6 persen atau
kurang dari separuh kemiskinan NTT yang mencapai 23 persen. Bahkan, kemiskinan
di Flores Timur juga jauh lebih baik daripada tingkat nasional yang mencapai
13,3 persen.
Namun, jika mencermati indikator lain, Flores Timur adalah wilayah dengan angka
putus sekolah umur 7-15 tahun tertinggi di NTT. Angka tersebut hampir dua kali
lipat dibandingkan dengan rata-rata NTT dan nyaris lima kali lipat tingkat
nasional. Di samping itu, pengangguran terbuka di Flores Timur juga tertinggi
keempat dari 21 kabupaten dan kota di NTT.
Indikator-indikator tersebut seakan ”bertentangan”, bagaimana mungkin tingkat
kemiskinan paling rendah tetapi angka putus sekolah tertinggi di NTT dan
pengangguran tinggi? Dari diskusi dengan para anggota DPRD Flores Timur
disampaikan bahwa remittance dari buruh migran sangat berperan mendorong
ekonomi penduduk. Bahkan, lebih miris lagi menurut Yayasan Tifa, ternyata
tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal asal Flores Timur adalah tertinggi di NTT.
Ketika masih produktif, mereka bekerja di luar negeri. Saat mulai tua dan
kurang produktif, mereka pulang.
Belajar dari kondisi Flores Timur, kita harus lebih hati-hati melihat angka
kemiskinan. Indikator-indikator sosial ekonomi lain perlu diperiksa terlebih
dahulu. Tampaklah bahwa mengukur kemiskinan melalui pendapatan/pengeluaran saja
tidak cukup untuk mengukur kemajuan hidup manusia.
Kapabilitas
Pada akhirnya, mereka yang bisa mengatasi kemiskinan adalah orang miskin itu
sendiri. Namun, apakah prasyarat-prasyarat yang memungkinkan orang miskin
keluar dari kemiskinan terpenuhi? Keterbatasan telah memenjarakan orang miskin.
Dalam bahasa Amartya Sen, potensi manusia untuk mengatasi kemiskinan terhambat
karena terjadi deprivasi kapabilitas (capability deprivation).
Saat ini di dunia telah dikembangkan kemiskinan multidimensi yang menelaah
kemiskinan manusia bukan hanya dari sisi moneter. Kemiskinan multidimensi
adalah ”operasionalisasi” pandangan filosofis Sen tentang kapabilitas manusia.
Masuklah indikator-indikator yang menjadi prasyarat agar manusia bisa
mengembangkan kapabilitasnya, misalnya pendidikan, kesehatan, dan tingkat
standar hidup.
Jika prasyarat-prasyarat minimal tersebut terpenuhi, manusia dapat
mengoptimalkan potensi atau kapabilitasnya sehingga dapat merengkuh kesempatan
sosial (social opportunity) yang ada. Inilah yang membuat manusia tidak hanya
keluar dari kemiskinan, tetapi juga bisa berkontribusi optimal terhadap
lingkungannya.
Kemiskinan multidimensi
Pertumbuhan ekonomi Indonesia beberapa tahun ini relatif baik, tetapi jika
dilihat dari kemajuan indikator sosial sangatlah mengecewakan. Hal ini bisa
dari proporsi penduduk yang kekurangan makan, gizi buruk anak balita, kematian
ibu dan anak balita, akses air bersih, sanitasi, listrik, angka putus sekolah,
dan lain-lain. Kondisi inilah yang membuat ketimpangan ekonomi semakin buruk
karena pemerataan kesempatan juga memburuk.
Perkumpulan Prakarsa dan Universitas Oxford (OPHI) saat ini mengembangkan
indeks kemiskinan multidimensi yang mengukur kemiskinan secara lebih luas,
bukan hanya kemiskinan moneter. Beberapa indikator sosial ekonomi yang mengukur
tingkat aksesibilitas dan pembangunan manusia dipakai sehingga sekaligus akan
membantu memandu pilihan prioritas kebijakan pemerintah (pusat dan daerah) dan
alokasi anggaran untuk mengatasi kemiskinan.
Melalui dorongan peningkatan kapabilitas dan pembangunan manusia, diharapkan
pemerataan kesempatan sosial akan terjadi dan ketimpangan ekonomi juga
berkurang. Di samping itu, kemiskinan berkelanjutan dengan sendirinya juga akan
diakhiri oleh penduduk yang telah berdaya dan justru menjadi aset pembangunan
yang berharga. Perubahan ini tentu saja diharapkan pada pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla yang berjanji mengutamakan pembangunanmanusia. (Kompas 24/10/2014)
sumber:http://ramadhan.kompas.com/read/2014/11/03/20353291/Mengakhiri.Kemiskinan.Berkelanjutan oleh Setyo Budiantoro
Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa; Pengajar Pascasarjana Kajian Kemiskinan Universitas Brawijaya
sumber:http://ramadhan.kompas.com/read/2014/11/03/20353291/Mengakhiri.Kemiskinan.Berkelanjutan oleh Setyo Budiantoro
Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa; Pengajar Pascasarjana Kajian Kemiskinan Universitas Brawijaya
0 komentar:
Posting Komentar