Our social:

Latest Post

Rabu, 25 November 2015

OSCAR ROMERO




Musuh Penindas, Martir Kaum Tertindas


Martir Oscar Romero
            Sekitar satu decade silam, di kalangan peminat Teologi Pembebasan, tersebar keyakinan bahwa indikator terakomodasinya teologi pembebasan ke dalam Gereja Katolik adalah beatifikasi dan kemudian kanonisasi Uskup Oscar Romero. Dan keyakinan itu mulai menjadi kenyataan, ketika Paus Fransiskus memaklumatkan 3 Februari 2015 bahwa Uskup Oscar Romero dibunuh karena keteguhannya membela iman Kristiani. Mereka membunuh Oscar Romero karena “kebencian mereka pada iman”.
            Apa yang dinyatakan Paus Fransiskus, Paus pertama dari Amerika Latin, sesungguhnya mengingatkan kembali apa yang diserukan Paus Benediktus XVI (Mei 2007), “Uskup Agung Romero sungguh seorang saksi iman yang besar, dia adalah pribadi dengan kebajikan Kristiani sejati”. Paus Fransiskus sendiri sebenarnya, sejak tahun 2013 memperlihatkan hasrat kuat untuk menyatakan Uskup Romero sebagai orang suci. Ia menanda-tangani dekrit yang mengakui Uskup Romero sebagai seorang martir. Jika kemartiran diakui maka tuntutan akan adanya mukjizat tidak lagi perlu untuk proses beatifikasi. Sebaliknya, tuntutan itu tetap perlu untuk proses kanonisasi.
            Pengakuan akan Uskup sebagai martir sesungguhnya suatu hal “aneh”, karena dalam kenyataannya selama tiga tahun menjadi Uskup Agung San Salvador (1977-1980) ada berkilo-kilo surat yang sampai di Roma berisi laporan bahwa dia adalah seorang politisi dan pengikut setia teologi pembebasan. Oleh sesame Uskup di El Salvador dia dikucilkan, juga ketika dia dibunuh, tak ada uskup El Salvador yang hadir dalam misa pemakaman. Ia dikenal sebagai musuh politik rezim militer El Salvador. Oscar Romero dianggap membahayakan Gereja karena afiliasi dan komitmennya terhadap para petani dan buruh, orang-orang miskin dan tertindas di El Salvador.
            Darah kemartiran mengalir deras dalam diri Romero. Selama menjadi Uskup Agung San Salvador, dari mimbar khotbah, tak secuil ketakutan pun diperlihatkannya ketika suaranya menggelegar menghunjamkan kata-kata kebenaran ibarat pedang yang menusuk kebusukan dan kekejian kekuasaan rezim militer yang berkuasa di El Salvador sejak tahun 1931. Bukan hanya mibar kotbah, stasiun-stasiun radio mengabarkan suara kenabiannya ke seluruh negeri, membangunkan kesadaran kaum miskindan tertindas bahwa bukanlah kehendak Allah bahwa segelintir orang memiliki segala sesuatu, sementara sebagian besar orang tidak memiliki apa-apa.
            Yang dihadapi Romero bukan saja rezim militer yang brutal, tetapi juga para Uskup yang menikmati”perselingkuhan” dengan rezim militer yang ditopang Amerika Serikat, dari pada berbelarasa dengan masyarakat dan umat yang tertindas di seluruh El Salvador. Yohanes Paulus II, yang menduduki tahta Petrus saat itu sempat menerima Oscar Romero di Vatikan, 11 Mei 1979. Romero menjelaskan betapa sulit baginya bekerja sama dengan para Uskup El Salvador yang bersekongkol dengan rezim militer yang menjadikan para imam dan religious pro-rakyat kecil target pembunuhan.
            Amat memperihatinkan bahwa para uskup konservatif yang memberkati tank-tank militer mempersalahkan teologi pembebasan ketika kaum militer menyerang Gereja-Gereja, membunuh pejuang keadilan, tak terkecuali imam dan biarawan-ti Oscar Romero dikambing-hitamkan bahwa kekejaman militer justru disebabkan oleh kritik-kritik yang disampaikannya secara terang benderang. Oscar Romero dilaporkan ke Roma.
            Dalam pertemuan dengan Yohanes Paulus II, Oscar Romero diingatkan bahwa menjaga kesatuan para uskup adalah pokok. Beliau mengacu kepada pengalamannya selama rezim komunis di Polandia. Nasehat bagus itu tidak pas untuk kondisi El Salvador. Yang dihadapi di Polandia adalah rezim non-Katolik (ateis) yang menghambat pewartaan iman Gereja. Masalah di El Salvador bukan memperkuat kesatuan para uskup, tetapi rezim militer represif dan brutal yang saban hari mencabut nyawa-nyawa rakyat dan pejuang kebenaran dan keadilan.
Sadar setelah menjadi Uskup Agung
Remember Oscar Romero, A "Voice For The Voiceless"

            Uskup Romero dengan nama lengkap Romero dengan nama lengkap Oscar Arnulfo y Gooldamez, lahir 15 Agustus 1917 di Cuildad Barrios, daerah pegunungan El Salvador yang berbatasan dengan Honduras. Kendati secara ekonomis lebih baik dari tetangga mereka, keluarga Romero tidak menikmati terang listrik dan kran air di rumah mereka. Mereka pun hanya tidur di lantai. Di masa kecil ia bekerja pada seorang tukang kayu dan memperlihatkan kemampuan luar biasa sebagai tukang kayu dari Nazareth.
            Pada usia 13 tahun ia masuk seminari kecil di San Miguel dan kemudian dikirim belajar ke Roma di Universitas Gregoriana dan ditahbiskan imam tahun 1942. Setelah menyelesaikan lisensiat di bidang teologi, dia meneruskan ke tingkat doktorat dengan spesialisasi Teologi Asketik. Karena kekurangan Imam di El Salvador, maka studinya dihentikan dan dia kembali menjadi pastor di desa. Karena kemampuannya dia diangkat menjadi rector Seminari Inter Diosesan dan Sekretaris Dioses San Miguel.
Tahun 1970 ditahbiskan menjadi Uskup Auxilier untuk Keuskupan Agung San Salvador. Uskup Agung saat itu adalah Luis Chaves y Gonzales yang amat bersemangat menerapkan pembaharuann dalam keskupan sejalan dengan Konsili Vatikan II. Sebagai Uskup Agung dia amat progresif dalam hal berpasoral dan ternyata semangat Uskup Agung itu tidak disenangi Romero yang menempatkan diri sebagai seorang konservatif.
            Semangat konservatif itulah yang menjadi modal utama Romero, sehingga dia disukai nuntio yang mempromosikannya ke Roma menggantikan uskup Chaves tahun 1977. Konservatisme Romero berubah total ketika sahabat dan rekannya   Rutilio Grande, seorang Jesuit dan pembela kaum tertindas ditemukan tewas di tangan pembunuh bayaran dari Rezim militer yang bersekongkol dengan orang-orang kaya. Hari itu, 12 Maret 19777, di hadapan jasad Rulitio Grande, romero berujar, “jika mereka membunuh dia, karena apa yang dikerjakannya, maka aku pun juga mesti menjejaki jalan yang sama:. Romero berbalik, dari seorang konservatif menjadi seorang pejuang keadilan dan kebenaran.
            Sejak saat itu, tak ada yang mampu menghentikan perjuangannya. Saban hari dia membaca dan mendoakan korban kekejaman pembunuh bayaran, yang didukung putra Presiden El Salvador. Ia menulis surat Pastoral, yang kemudian dikukuhkan dengan judul, “Voice of the Voiceless)”. Pilihan yang diambilnya membuka kesadaran dan keyakinan bahwa kematian di moncong senjata pembunuh bayaran adalah soal waktu saja. Sekali waktu dia berujar, “jika mereka membunuh saya, maka saya akan bangkit lagi dalam diri rakyat El Salvador”.
            Romero benar, sore itu, tanggal 24 Maret 1980, seusai kotbah, seorang pembunuh bayaran melongos masuk ke Gereja dan menyemburkan peluru ke tubuh Romero. Rakyat El Salvador berduka. Tetapi di pemukiman-pemukiman orang kaya, malam itu kembang api bertebaran di udara dan meja-meja perjamuan menjamur di rumah-rumah mewah. Prelat berjubah ungu hanyut dalam pesta dan suka cita karena kematian Romero, yang dituduh merusak hubungan Gereja dan Pemerintah.
            Romero tidak mati. Dunia menghargai dan memujanya. Tahun 1981 dia mendapat hadiah Nobel dan telah dicalonkan sejak tahun 1978. Ia kembali bangkit dalam diri rakyat El Salvador.
“sebelum mereka membunuh dia, jumlah kami hanyalah ratusan orang. Tetapi setelah mereka membunuh dia, jumlah kami menjadi beribu-ribu”. Kata seorang mantan geriliawan El Salvador. Kini Romero bangkit lagi hati kaum beriman. Gereja Katolik, telah membeatifikasi Uskup Romero 23 Mei 2015. Sukacita dan anugerah Pentekosta bagi Gereja dan rakyat El Salvador, teladan kenabian bagi para petinggi Gereja.***

Judul dan isi tulisan diolah dari
Peter C. Aman, OFM
Majalah Gita Sang Surya Vol. 10, No. 4 Juli – Agustus 2015

Senin, 23 November 2015

PEMBANGUNAN KOTA YANG MEMANUSIAKAN MANUSIA



(disampaikan dalam diskusi mingguan)
Sebagai Ibu Kota negara, Jakarta adalah etalase utama demokratisasi di Indonesia. Daya dorong pluralisme merupakan modal politik yang tidak dapat diabaikan. Fakta antropologis menunjukkan Jakarta adalah tanah Betawi, suku asli dan hasil kawin campur berbagai etnis, yang kemudian membentuk karakter tersendiri. Kini, Jakarta menjadi rumah bagi kemajemukan suku di Indonesia. Setidaknya tiga suku terbesar di Jakarta, yakni Jawa (35 persen), Betawi (27 persen), dan Sunda (21 persen), sementara lainnya (17 persen).
Silang budaya selama berabad-abad tak membiarkan satu kebudayaan besar mendominasi Ibu Kota. Di ranah politik, publik cair mengartikulasikan pilihan dan sikap politiknya. Pluralisme politik terlihat sejak Pemilu 1955 yang memunculkan partai-partai utama di DKI Jakarta, yakni Masyumi (2 kursi), PNI (1 kursi), NU (1 kursi), dan PKI (1 kursi).

Persoalan ketimpangan di Ibu Kota juga terlihat dari angka rasio gini dalam lima tahun terakhir. Membesarnya koefisien rasio gini menunjukkan distribusi pendapatan makin melebar dalam hal kesenjangan antara kaya dan miskin kota. Tahun 2008, angka rasio gini DKI Jakarta masih 0,33 di bawah angka nasional 0,35. Namun, tahun 2012, rasio gini DKI Jakarta menjadi 0,42, sementara angka nasional 0,41. Selain itu, tingkat pengangguran 9,02 persen dan kemiskinan 3,72 persen masih menjadi problem.
Problem itu terjadi di tengah kompleksitas pluralisme Jakarta. Jika tidak dikelola, pluralisme bisa menjadi petaka. Penolakan terhadap Lurah Susan Jasmine Zulkifli di Lenteng Agung pada September 2013 menunjukkan pluralisme di Jakarta belum menyentuh aspek kognitif warga.
Sebagai ibu kota Negara, Jakarta memiliki berbagai masalah bersekala luar biasa. Kemacetan yang massif, penumpukkan sampah, berbelitnya perizinan dan rendahnya kualitas layanan public menjadi menu sehari-hari yang harus ditangani pemimpin Jakarta. Kepuasan public terhadap kinerja Gubernur Basuki Thaja Purnama dan wakil Gubernur Djarot Saiful Hidayat satu tahun terakhir antara lain dilakukan survey oleh Litbang Kompas, Cyrus Network dan Saiful Mujani Research & Consulting dengan metode melalui telepon dan tatap muka.
Asia Pacific Urban Forum (APUF) ke-6 yang digelar di Jakarta, 19-21 Oktober 2015 lalu, dihadiri oleh hampir seluruh elemen pengambil kebijakan kota-kota di kawasan Asia Pasifik, seperti wali kota, akademisi LSM, pekerja sosial dan anak muda. “Kunci pengembangan kota adalah peran komunitas,” ujar Shamsad Akhtar, Sekretaris Eksekutif Komisi Ekonomi dan Sosial untuk Asia Pasifik Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN ESCAP). Menurut Akhtar pembangunan kota tak hanya sebatas fisik, tetapi juga sosial. Peran manusia menjadi kunci dalam pembangunan. Kompas, Senin, 16 November 2015.
Ironisnya, pembangunan yang memanusiakan manusia menjadi barang langkah termasuk di Jakarta dan kawasan sekitarnya, seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Orang miskin digusur dan tak diberi kesempatan bersuara, kaum marjinal merasa terasing, dan kaum minoritas tak diberi ruang. Pembangunan di Jakarta belum menampung kepentingan masyarakat miskin. Akibatnya, keadilan tata ruang tak terwujud. Menurut Koordinator Urban Poor Consortium dan Uplink Wardah, hanya 0,33% dari seluruh luas kota yang dihuni warga miskin. Sisanya pembangunan mal-mal besar, perkantoran dan permukiman elit.
Dalam kasus penggusuran Kampung Pulo, misalnya, kesewenang-wenangan Pemerintah Provinsi masih terasa kental. Relokasi/memindah masyarakat dengan cara keras dan tak kenal kompromi telah menegaskan bahwa kota bukan tempat ramah bagi mereka yang tak memiliki hak atas tanah. Pemerintah memilih cara represif dengan menurunkan personel kepolisian dan Satuan pamong praja dalam menghadapi aksi kekerasan dan protes masyarakat kampong pulo dalam memuluskan penggusuran tersebut. Warga digusur dengan dalih penataan kota. Di sisi lain, pembangunan apartemen dan mal yang menggerus ruang public berlangsung massif dan tak karuan.
Pembangunan Jakarta dan kota penyangga masih cenderung ekskluif dan berpihak pada pemodal besar (PENGUSAHA) atau Kapitalis. Pemerintah sudah saatnya untuk harus melibatkan warga miskin dan dan menengah dalam setiap perencanaan dan pembangunan kota. Hal ini karena masyarakat bukanlah objek dari sebuah pembangunan melainkan subjek dari pembangunan itu sendiri. Pembangunan kota yang baik seharusnya mengedepankan kepentingan semua manusia yang tinggal di dalam kota, termasuk pembangunan ruang public, dan perumahan rakyat.
Direktur Program Studi Pembangunan University of the South Pacific di Fiji Profesor Vijay Naidu berpendapat, salah satu cara membangun kota yang memanusiakan manusia adalah dengan mengoptimalkan partisipasi warga yang menjadi komponen terpenting dalam pembangunan. Kawasan kumuh masih merajalela, macet menjadi rutinitas, dan banjir tak terhindarkan. Pemimpin sebagai perumus keputusan seharusnya memainkan peranan besar untuk mendorong warga beralih moda menggunakan angkutan missal. Tanpa ada kemauan politik dan berkemanusiaan, pembangunan kota akan seterusnya berjalan timpang dan eksklusif.

Oleh     : Anthony Andgor Walona
              (PGK DPC PMKRI Cabang Jakarta Pusat)
Referensi :
a.       Indah Surya Wardhani, Analisis Isu DKI: Kemajemukan dan Ketimpangan, Kompas 26 Juni 2014;
b.      Kompas, 16 November 2015, Pembangunan Kota Belum Untuk Semua