Our social:

Selasa, 19 Mei 2015

PERAN MAHASISWA DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL

Indonesia sebagai bangsa, telah mengalami zaman nasional pada masa kebesaran Majapahit dan Sriwijaya. Kedua kerajaan tersebut, terutama Majapahit memainkan peranan sebagai negara nasional yang wilayahnya meliputi hampir seluruh Nusantara. Kebesaran ini membawa pikiran dan angan-angan bangsa Indonesia untuk senantiasa dapat menikmati kebesaran itu. Hal ini dapat menggugah perasaan nasionalisme golongan terpelajar pada dekade awal abad XX. Perasaan akan timbulnya nasionalisme bangsa Indonesia telah tumbuh sejak lama, bukan secara tiba-tiba. Nasionalisme tersebut masih bersifat kedaerahan, belum bersifat nasional. Nasionalisme yang bersifat 
menyeluruh dan meliputi semua wilayah Nusantara baru muncul sekitar awal abad XX.
Seratus tahun telah kita lalui sejak ditetapkannya tangal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Nilai-nilai Kebangkitan Nasional yang diperjuangkan para pendahulu kita telah menjadi perekat jalinan persatuan dan kesatuan diantara kekuatan dan komponen bangsa. Ia telah memberi semangat untuk melepaskan diri dari penjajahan, mengejar ketertinggalan dan membebaskan diri dari keterbelakangan. Nilai-nilai tersebut menjadi dasar perjuangan para pemuda yang kemudian pada tanggal 20 Mei 1908 terorganisasi dalam wadah pergerakan yang bernama Boedi Oetomo. 
Boedi Oetomo) adalah sebuah organisasi pemuda yang didirikan oleh Dr. Sutomo dan para mahasiswa STOVIA yaitu Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soeraji pada tanggal 20 Mei 1908. Digagaskan oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo. Organisasi ini bersifat sosial, ekonomi, dan kebudayaan tetapi tidak bersifat politik. Berdirinya Budi Utomo menjadi awal gerakan yang bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia walaupun pada saat itu organisasi ini awalnya hanya ditujukan bagi golongan berpendidikan Jawa. Dari sinilah kemudian semangat nilai-nilai persatuan dan kesatuan ini semakin mengkristal dan menjadi kekuatan moral bangsa sebagaimana tertuang dalam ikrar Soempah Pemoeda, pada tanggal 28 Oktober 1928. Perjuangan panjang yang ditempuh oleh bangsa Indonesia tersebut, akhirnya kita capai dengan memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 sebagai bangsa yang Merdeka dari penjajahan. 
Bangsa Indonesia telah bersepakat bahwa Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang diperoleh melalui perjuangan panjang tersebut harus tetap dipertahankan, dipelihara dan dijaga. Dalam kurun waktu 69 tahun perjalanannya, berbagai ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan masih saja terjadi. Aneka persoalan kemunduran sosial seringkali ditandai dengan kebangkrutan politik dalam hidup bersama. Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) terjadi di mana-mana. Soal-soal yang menyangkut kebebasan beragama dan kebebasan berkembang dalam budayanya juga menjadi perkara yang dominan pada periode sekarang ini. Kemiskinan merajalela dan memakan jutaan korban rakyat kecil. Ketidakadilan, penindasan, penghisapan, penggarapan, penyingkiran umat manusia dari peran social menjadi berita yang tidak asing lagi dari berbagai media di tengah era globalisasi dan free trade ini. 
Hingga saat ini, fenomena sosial politik di berbagai belahan dunia terlebih khususnya di Indonesia sepertinya sulit untuyk memungkiri peran dan kontribusi dari sebuah kelompok elit muda terdidik yang bernama “Mahasiswa” ini dalam setiap gerak perubahan fase sejarah yang mengiringinya, entah itu mulai dari proyek pertarungan ideologi, pembenahan struktur sosial, sampai pada resistensi politik yang dibungkus dalam gerakan moral sosial untuk menggulingkan rezim kekuasaan.Di dalam setiap fase dialektika sejarah tersebut, boleh dikata peran mahasiswa dapat dianalogikan sebagai sebuah”mesin politik” kondisional yang mampu menciptakan sebuah perubahan-perubahan sosial politik dalam masyarakat. Fakta sejarah telah membuktikan, bahwa di berbagai negara mulai dari Amerika, Eropa sampai negara-negara belahan dunia ketiga seperti di Indonesia kerap kali menggambarkan bahwa perubahan sosial senantiasa selalu dimotori oleh sebuah pergerakan dari kaum intelektual dan pemuda. Sebagai sentral kekuatan perubahan dan pembaharuan inilah, maka mahasiswa selalu dijuluki sebagai agen sosial perubahan (agent social of change). 
Dari proses fase sejarah tersebut, secara substansi sebenarnya dapat ditarik sebuah benang merah bahwasanya kesadaran akan beban sejarah telah membuat para mahasiswa untuk tampil menjadi garda terdepan untuk mengawal masyarakat dalam menghadapi setiap kondisi sosial yang anomali. Harapan akan panggilan sejarah tersebut, di satu sisi mungkin dapat dipandang sebagai sebuah tuntutan kesadaran moral dan tanggung jawab sosial mahasiswa sebagai kaum terdidik yang harus senantiasa siap mengikuti panggilan sejarah untuk menciptakan perubahan-perubahan fundamental dalam perikehidupan masyarakat. 
Sebab, bagaimanapun, mahasiswa yang pada hakikatnya adalah golongan kaum muda yang secara sosiologis dan politis masih “bersih” atau “netral” sebenarnya harus dapat menjadi sebuah triger (pemicu) untuk melahirkan momentum sejarah. Oleh karena itu, mahasiswa harus dapat memelihara idealisme dan totalitas kesadaran politiknya untuk BERJUANG DENGAN TERLIBAT DAN BERPIHAK PADA KAUM TERTINDAS lewat kekuatan masif yang teroganisir agar dapat mengontrol segala kebijakan pemerintah yang kelak akan menentukan nasib rakyat banyak.Oleh karena itu, mahasiswa sudah seharusnya merubah pola pikirnya untuk tidak hanya dicap sebagai konsumen dari industri pendidikan yang kelak setelah lulus hanya menjadi “barang” yang bisa seenaknya dipermainkan oleh permintaan pasar. Sebab, kampus bukanlah sebuah pabrik dari angkatan kerja yang menghasilkan tenaga “robot” bagi kaum pemodal. Melainkan, institusi pendidikan formal yang seharusnya mampu menempa para kaum terdidiknya untuk berpikir progresif, kreatif, berani untuk mandiri dalam menciptakan gagasan dan inovatif dalam menerapkan pengetahuannya agar berguna bagi masyarakat, bangsa, dan negara 
Menilik situasi dan kondisi saat ini, mungkin kita harus jujur, bahwa situasi kemahasiswaan saat ini secara umum sangat kurang dinamis, cenderung jalan di tempat, bahkan mundur (apatis). Terkadang situasi mahasiswa memang menunjukkan situasinya yang ideal yaitu penuh gairah dalam turut serta aktivitas akademis sekaligus aktivitas ekstra-universiter. Namun terkadang keseimbangan peran mahasiswa tersebut sangat pincang. Sedangkan kondisi mahasiswa saat ini, belum lagi dapat menunjukkan dirinya sebagai mahasiswa yang sesungguhnya, karena mahasiswa saat ini sudah terkondisikan sedemikian mungkin sehingga merasa tak perlu lagi memikirkan masalah-masalah di luar perkuliahan secara lebih serius.

Reformasi tahun 1998 yang berhadiahkan demokrasi seakan meninahbobohkan dan menyurutkan semangat juang mahasiswa dalam mengontrol, mengkritisi Pemerintah yang sedang berkuasa. kecendrungan ini lebih terlihat ketika ruang dialektika berpindah ke karaokean, tempat-tempat hiburan dll. Dampak dari era globalisasipun telah masuk dan merasuk diri, pikiran dan mental mahasiswa, yang menjadikan mahasiswa bermental instant, konsumtif, hedonis dan “SUKA-SUKA GUE (apatis)/UP TO YOU. Pada akhirnya terciptalah mahasiswa yang “bodoh amat” dan “mati rasa”. Lalu bagaimana menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang sebentar lagi akan berlaku? 
Permasalahan mendasar saat ini adalah bagaimana sisi dan bentuk gerakan mahasiswa Indonesia Kini, sehingga "Balance of Power" untuk mewujudkan  demokrasi Pancasila, Indonesia yang kita cita-citakan, bersih dari penyakit-penyakit kronis dapat dimainkan?? Selain itu bagaimana peran mahasiswa dan perguruan tinggi dalam memberikan dukungan moral bagi usaha perubahan sosial?? Secara situasional, perjuangan mahasiswa mengalami kesulitan untuk mencari keseimbangan antara studi, partisipasi dalam pembinaan kelembagaan kemahasiswaan dan peran sosial sejalan dengan Tridharma Perguruan Tinggi yang sejak dahulu dikumandangkan oleh mahasiswa. Terutama sekali menyangkut pengembangan/pengayaan kepribadian, pembentukan karakter mahasiswa itu sendiri.

PMKRI yang juga adalah organisasi kemasyarakatan kepemudaan/kemahasiswaan yang secara kritis, rasional, obyiektif dan terus-menerus meperjuangkan pembaharuan, perubahan serta pembangunan moral dan spiritualitas yang berdampak sosial bagi kehidupan menggereja, bermasyarakat dan berbangsa. Peran anggota dan pengurus adalah menjadi "garam dan terang" Katolik atau PMKRI. Peran tersebut dicerminkan dalam segala aspek-aspek pembanguna dewasa ini. Peran PMKRI sudah tentu juga mencerminkan peran umat Katolik pada umumnya. 
Oleh karena itu, peran dan keterlibatan aktif dalam kader PMKRI dengan berlandaskan Tiga Benang Merah menjadi menjadi bagian dari tuntutan tugas panggilan dan perutusan untuk:·         Menjadi garam dan terang dunia; kader PMKRI harus melibatkan secara aktif dalam kegiatan extrauniversiter  untuk memampukan pemerintah, berjuang dengan terlibat dan berpihak pada kaum tertindas secara terus menerus dengan menggunakan populy intellectuality demi terwujudnya keadilan sosial, kemanusiaan dan persaudaraan sejati.
Menjadi agen perubahan yang berpegang pada kebenaran dan cinta kasih; kader PMKRI, harus berani mengatakan tidak atas semua tawaran, bujukan atau strategi yang memasukkan diri dalam Korupsi, Kolusi Nepotisme dan terus-menerus berjuang menegakkan hukum secara konsisten dan konsekuen. 
·Menjadi pelopor yang tahu hak dan mau melakukan kewajiban; kader PMKRI dipanggil untuk menyatakan kehendak Allah dan memulikan nama-Nya dalam segala bidang kehidupan, termasuk bidang kemasyarakatan. Karena itu, setiap kader PMKRI mempunyai kewajiban dan tanggung jawab yang lebih berat dari pada orang lain dalam perkara politik. Yang terutama adalah melakukan semuanya demi kemuliaan nama Allah

Dengan memperhatikan perkembangan dan kecenderungan fenomena bangsa tersebut, maka semangat dan jiwa Kebangkitan Nasional menjadi penting untuk terus tetap digelorakan dalam setiap individu warga negara Indonesia terlebih khusus bagi segenap kader PMKRI, agar tetap waspada dalam rangka menjaga keutuhan kita sebagai sebuah bangsa yang besar dalam bingkai NKRI untuk menjawab tantangan-tantangan di era pasar bebas (ASEAN Economic Comunity) yang kompetitif dan menuntut kemampuan lebih dari sekedar gelar akademis.***

0 komentar:

Posting Komentar