Indonesia sebagai bangsa, telah
mengalami zaman nasional pada masa kebesaran Majapahit dan Sriwijaya. Kedua
kerajaan tersebut, terutama Majapahit memainkan peranan sebagai negara nasional
yang wilayahnya meliputi hampir seluruh Nusantara. Kebesaran ini membawa
pikiran dan angan-angan bangsa Indonesia untuk senantiasa dapat menikmati
kebesaran itu. Hal ini dapat menggugah perasaan nasionalisme golongan
terpelajar pada dekade awal abad XX. Perasaan akan timbulnya nasionalisme
bangsa Indonesia telah tumbuh sejak lama, bukan secara tiba-tiba. Nasionalisme
tersebut masih bersifat kedaerahan, belum bersifat nasional. Nasionalisme yang
bersifat
menyeluruh dan meliputi semua wilayah Nusantara baru muncul sekitar
awal abad XX.
Seratus tahun telah kita lalui
sejak ditetapkannya tangal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Nilai-nilai Kebangkitan Nasional yang diperjuangkan para pendahulu kita telah
menjadi perekat jalinan persatuan dan kesatuan diantara kekuatan dan komponen
bangsa. Ia telah memberi semangat untuk melepaskan diri dari penjajahan,
mengejar ketertinggalan dan membebaskan diri dari keterbelakangan. Nilai-nilai
tersebut menjadi dasar perjuangan para pemuda yang kemudian pada tanggal 20 Mei
1908 terorganisasi dalam wadah pergerakan yang bernama Boedi Oetomo.
Boedi Oetomo) adalah sebuah
organisasi pemuda yang didirikan oleh Dr. Sutomo dan para mahasiswa STOVIA
yaitu Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soeraji pada tanggal 20 Mei 1908. Digagaskan
oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo. Organisasi ini bersifat sosial, ekonomi, dan
kebudayaan tetapi tidak bersifat politik. Berdirinya Budi Utomo menjadi awal
gerakan yang bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia walaupun pada saat itu
organisasi ini awalnya hanya ditujukan bagi golongan berpendidikan Jawa. Dari
sinilah kemudian semangat nilai-nilai persatuan dan kesatuan ini semakin
mengkristal dan menjadi kekuatan moral bangsa sebagaimana tertuang dalam ikrar
Soempah Pemoeda, pada tanggal 28 Oktober 1928. Perjuangan panjang yang ditempuh
oleh bangsa Indonesia tersebut, akhirnya kita capai dengan memproklamirkan
kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 sebagai bangsa yang Merdeka dari
penjajahan.
Bangsa Indonesia telah bersepakat
bahwa Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang diperoleh melalui
perjuangan panjang tersebut harus tetap dipertahankan, dipelihara dan dijaga.
Dalam kurun waktu 69 tahun perjalanannya, berbagai ancaman, tantangan, hambatan
dan gangguan masih saja terjadi. Aneka persoalan kemunduran sosial seringkali
ditandai dengan kebangkrutan politik dalam hidup bersama. Korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN) terjadi di mana-mana. Soal-soal yang menyangkut kebebasan
beragama dan kebebasan berkembang dalam budayanya juga menjadi perkara yang
dominan pada periode sekarang ini. Kemiskinan merajalela dan memakan jutaan
korban rakyat kecil. Ketidakadilan, penindasan, penghisapan, penggarapan,
penyingkiran umat manusia dari peran social menjadi berita yang tidak asing
lagi dari berbagai media di tengah era globalisasi dan free trade ini.
Hingga saat ini, fenomena sosial politik
di berbagai belahan dunia terlebih khususnya di Indonesia sepertinya sulit
untuyk memungkiri peran dan kontribusi dari sebuah kelompok elit muda terdidik
yang bernama “Mahasiswa” ini dalam setiap gerak perubahan fase sejarah
yang mengiringinya, entah itu mulai dari proyek pertarungan ideologi,
pembenahan struktur sosial, sampai pada resistensi politik yang dibungkus dalam
gerakan moral sosial untuk menggulingkan rezim kekuasaan.Di dalam setiap fase
dialektika sejarah tersebut, boleh dikata peran mahasiswa dapat dianalogikan
sebagai sebuah”mesin politik” kondisional yang mampu menciptakan sebuah
perubahan-perubahan sosial politik dalam masyarakat. Fakta sejarah telah
membuktikan, bahwa di berbagai negara mulai dari Amerika, Eropa sampai
negara-negara belahan dunia ketiga seperti di Indonesia kerap kali
menggambarkan bahwa perubahan sosial senantiasa selalu dimotori oleh sebuah
pergerakan dari kaum intelektual dan pemuda. Sebagai sentral kekuatan perubahan
dan pembaharuan inilah, maka mahasiswa selalu dijuluki sebagai agen sosial
perubahan (agent social of change).
Dari proses fase sejarah
tersebut, secara substansi sebenarnya dapat ditarik sebuah benang merah
bahwasanya kesadaran akan beban sejarah telah membuat para mahasiswa untuk
tampil menjadi garda terdepan untuk mengawal masyarakat dalam menghadapi setiap
kondisi sosial yang anomali. Harapan akan panggilan sejarah tersebut, di satu
sisi mungkin dapat dipandang sebagai sebuah tuntutan kesadaran moral dan
tanggung jawab sosial mahasiswa sebagai kaum terdidik yang harus senantiasa
siap mengikuti panggilan sejarah untuk menciptakan perubahan-perubahan
fundamental dalam perikehidupan masyarakat.
Sebab, bagaimanapun, mahasiswa
yang pada hakikatnya adalah golongan kaum muda yang secara sosiologis dan politis
masih “bersih” atau “netral” sebenarnya harus dapat menjadi sebuah triger
(pemicu) untuk melahirkan momentum sejarah. Oleh karena itu, mahasiswa harus
dapat memelihara idealisme dan totalitas kesadaran politiknya untuk BERJUANG
DENGAN TERLIBAT DAN BERPIHAK PADA KAUM TERTINDAS lewat kekuatan masif yang
teroganisir agar dapat mengontrol segala kebijakan pemerintah yang kelak akan
menentukan nasib rakyat banyak.Oleh karena itu, mahasiswa sudah seharusnya
merubah pola pikirnya untuk tidak hanya dicap sebagai konsumen dari industri
pendidikan yang kelak setelah lulus hanya menjadi “barang” yang bisa seenaknya
dipermainkan oleh permintaan pasar. Sebab, kampus bukanlah sebuah pabrik dari
angkatan kerja yang menghasilkan tenaga “robot” bagi kaum pemodal. Melainkan,
institusi pendidikan formal yang seharusnya mampu menempa para kaum terdidiknya
untuk berpikir progresif, kreatif, berani untuk mandiri dalam menciptakan
gagasan dan inovatif dalam menerapkan pengetahuannya agar berguna bagi
masyarakat, bangsa, dan negara
Menilik situasi dan kondisi saat
ini, mungkin kita harus jujur, bahwa situasi kemahasiswaan saat ini secara umum
sangat kurang dinamis, cenderung jalan di tempat, bahkan mundur (apatis).
Terkadang situasi mahasiswa memang menunjukkan situasinya yang ideal yaitu
penuh gairah dalam turut serta aktivitas akademis sekaligus aktivitas
ekstra-universiter. Namun terkadang keseimbangan peran mahasiswa tersebut
sangat pincang. Sedangkan kondisi mahasiswa saat ini, belum lagi dapat
menunjukkan dirinya sebagai mahasiswa yang sesungguhnya, karena mahasiswa saat
ini sudah terkondisikan sedemikian mungkin sehingga merasa tak perlu lagi
memikirkan masalah-masalah di luar perkuliahan secara lebih serius.
Reformasi tahun 1998 yang
berhadiahkan demokrasi seakan meninahbobohkan dan menyurutkan semangat juang
mahasiswa dalam mengontrol, mengkritisi Pemerintah yang sedang berkuasa.
kecendrungan ini lebih terlihat ketika ruang dialektika berpindah ke karaokean,
tempat-tempat hiburan dll. Dampak dari era globalisasipun telah masuk dan
merasuk diri, pikiran dan mental mahasiswa, yang menjadikan mahasiswa bermental
instant, konsumtif, hedonis dan “SUKA-SUKA GUE (apatis)/UP TO YOU. Pada
akhirnya terciptalah mahasiswa yang “bodoh amat” dan “mati rasa”. Lalu
bagaimana menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang sebentar lagi akan
berlaku?
Permasalahan mendasar saat ini
adalah bagaimana sisi dan bentuk gerakan mahasiswa Indonesia Kini, sehingga
"Balance of Power" untuk mewujudkan demokrasi Pancasila,
Indonesia yang kita cita-citakan, bersih dari penyakit-penyakit kronis dapat
dimainkan?? Selain itu bagaimana peran mahasiswa dan perguruan tinggi dalam
memberikan dukungan moral bagi usaha perubahan sosial?? Secara situasional,
perjuangan mahasiswa mengalami kesulitan untuk mencari keseimbangan antara
studi, partisipasi dalam pembinaan kelembagaan kemahasiswaan dan peran sosial
sejalan dengan Tridharma Perguruan Tinggi yang sejak dahulu dikumandangkan oleh
mahasiswa. Terutama sekali menyangkut pengembangan/pengayaan kepribadian, pembentukan
karakter mahasiswa itu sendiri.
PMKRI yang juga adalah organisasi
kemasyarakatan kepemudaan/kemahasiswaan yang secara kritis, rasional, obyiektif
dan terus-menerus meperjuangkan pembaharuan, perubahan serta pembangunan moral
dan spiritualitas yang berdampak sosial bagi kehidupan menggereja,
bermasyarakat dan berbangsa. Peran anggota dan pengurus adalah menjadi
"garam dan terang" Katolik atau PMKRI. Peran tersebut dicerminkan
dalam segala aspek-aspek pembanguna dewasa ini. Peran PMKRI sudah tentu juga
mencerminkan peran umat Katolik pada umumnya.
Oleh karena itu, peran dan
keterlibatan aktif dalam kader PMKRI dengan berlandaskan Tiga Benang Merah
menjadi menjadi bagian dari tuntutan tugas panggilan dan perutusan
untuk:· Menjadi garam dan
terang dunia; kader PMKRI harus melibatkan secara aktif dalam kegiatan
extrauniversiter untuk memampukan pemerintah, berjuang dengan terlibat
dan berpihak pada kaum tertindas secara terus menerus dengan menggunakan populy
intellectuality demi terwujudnya keadilan sosial, kemanusiaan dan persaudaraan
sejati.
Menjadi agen
perubahan yang berpegang pada kebenaran dan cinta kasih; kader PMKRI, harus
berani mengatakan tidak atas semua tawaran, bujukan atau strategi yang
memasukkan diri dalam Korupsi, Kolusi Nepotisme dan terus-menerus berjuang
menegakkan hukum secara konsisten dan konsekuen.
·Menjadi pelopor yang tahu hak
dan mau melakukan kewajiban; kader PMKRI dipanggil untuk menyatakan kehendak
Allah dan memulikan nama-Nya dalam segala bidang kehidupan, termasuk bidang
kemasyarakatan. Karena itu, setiap kader PMKRI mempunyai kewajiban dan tanggung
jawab yang lebih berat dari pada orang lain dalam perkara politik. Yang
terutama adalah melakukan semuanya demi kemuliaan nama Allah
Dengan memperhatikan perkembangan
dan kecenderungan fenomena bangsa tersebut, maka semangat dan jiwa Kebangkitan
Nasional menjadi penting untuk terus tetap digelorakan dalam setiap individu
warga negara Indonesia terlebih khusus bagi segenap kader PMKRI, agar tetap
waspada dalam rangka menjaga keutuhan kita sebagai sebuah bangsa yang besar
dalam bingkai NKRI untuk menjawab tantangan-tantangan di era pasar bebas (ASEAN
Economic Comunity) yang kompetitif dan menuntut kemampuan lebih dari sekedar
gelar akademis.***
0 komentar:
Posting Komentar