Our social:

Latest Post

Rabu, 25 November 2015

OSCAR ROMERO




Musuh Penindas, Martir Kaum Tertindas


Martir Oscar Romero
            Sekitar satu decade silam, di kalangan peminat Teologi Pembebasan, tersebar keyakinan bahwa indikator terakomodasinya teologi pembebasan ke dalam Gereja Katolik adalah beatifikasi dan kemudian kanonisasi Uskup Oscar Romero. Dan keyakinan itu mulai menjadi kenyataan, ketika Paus Fransiskus memaklumatkan 3 Februari 2015 bahwa Uskup Oscar Romero dibunuh karena keteguhannya membela iman Kristiani. Mereka membunuh Oscar Romero karena “kebencian mereka pada iman”.
            Apa yang dinyatakan Paus Fransiskus, Paus pertama dari Amerika Latin, sesungguhnya mengingatkan kembali apa yang diserukan Paus Benediktus XVI (Mei 2007), “Uskup Agung Romero sungguh seorang saksi iman yang besar, dia adalah pribadi dengan kebajikan Kristiani sejati”. Paus Fransiskus sendiri sebenarnya, sejak tahun 2013 memperlihatkan hasrat kuat untuk menyatakan Uskup Romero sebagai orang suci. Ia menanda-tangani dekrit yang mengakui Uskup Romero sebagai seorang martir. Jika kemartiran diakui maka tuntutan akan adanya mukjizat tidak lagi perlu untuk proses beatifikasi. Sebaliknya, tuntutan itu tetap perlu untuk proses kanonisasi.
            Pengakuan akan Uskup sebagai martir sesungguhnya suatu hal “aneh”, karena dalam kenyataannya selama tiga tahun menjadi Uskup Agung San Salvador (1977-1980) ada berkilo-kilo surat yang sampai di Roma berisi laporan bahwa dia adalah seorang politisi dan pengikut setia teologi pembebasan. Oleh sesame Uskup di El Salvador dia dikucilkan, juga ketika dia dibunuh, tak ada uskup El Salvador yang hadir dalam misa pemakaman. Ia dikenal sebagai musuh politik rezim militer El Salvador. Oscar Romero dianggap membahayakan Gereja karena afiliasi dan komitmennya terhadap para petani dan buruh, orang-orang miskin dan tertindas di El Salvador.
            Darah kemartiran mengalir deras dalam diri Romero. Selama menjadi Uskup Agung San Salvador, dari mimbar khotbah, tak secuil ketakutan pun diperlihatkannya ketika suaranya menggelegar menghunjamkan kata-kata kebenaran ibarat pedang yang menusuk kebusukan dan kekejian kekuasaan rezim militer yang berkuasa di El Salvador sejak tahun 1931. Bukan hanya mibar kotbah, stasiun-stasiun radio mengabarkan suara kenabiannya ke seluruh negeri, membangunkan kesadaran kaum miskindan tertindas bahwa bukanlah kehendak Allah bahwa segelintir orang memiliki segala sesuatu, sementara sebagian besar orang tidak memiliki apa-apa.
            Yang dihadapi Romero bukan saja rezim militer yang brutal, tetapi juga para Uskup yang menikmati”perselingkuhan” dengan rezim militer yang ditopang Amerika Serikat, dari pada berbelarasa dengan masyarakat dan umat yang tertindas di seluruh El Salvador. Yohanes Paulus II, yang menduduki tahta Petrus saat itu sempat menerima Oscar Romero di Vatikan, 11 Mei 1979. Romero menjelaskan betapa sulit baginya bekerja sama dengan para Uskup El Salvador yang bersekongkol dengan rezim militer yang menjadikan para imam dan religious pro-rakyat kecil target pembunuhan.
            Amat memperihatinkan bahwa para uskup konservatif yang memberkati tank-tank militer mempersalahkan teologi pembebasan ketika kaum militer menyerang Gereja-Gereja, membunuh pejuang keadilan, tak terkecuali imam dan biarawan-ti Oscar Romero dikambing-hitamkan bahwa kekejaman militer justru disebabkan oleh kritik-kritik yang disampaikannya secara terang benderang. Oscar Romero dilaporkan ke Roma.
            Dalam pertemuan dengan Yohanes Paulus II, Oscar Romero diingatkan bahwa menjaga kesatuan para uskup adalah pokok. Beliau mengacu kepada pengalamannya selama rezim komunis di Polandia. Nasehat bagus itu tidak pas untuk kondisi El Salvador. Yang dihadapi di Polandia adalah rezim non-Katolik (ateis) yang menghambat pewartaan iman Gereja. Masalah di El Salvador bukan memperkuat kesatuan para uskup, tetapi rezim militer represif dan brutal yang saban hari mencabut nyawa-nyawa rakyat dan pejuang kebenaran dan keadilan.
Sadar setelah menjadi Uskup Agung
Remember Oscar Romero, A "Voice For The Voiceless"

            Uskup Romero dengan nama lengkap Romero dengan nama lengkap Oscar Arnulfo y Gooldamez, lahir 15 Agustus 1917 di Cuildad Barrios, daerah pegunungan El Salvador yang berbatasan dengan Honduras. Kendati secara ekonomis lebih baik dari tetangga mereka, keluarga Romero tidak menikmati terang listrik dan kran air di rumah mereka. Mereka pun hanya tidur di lantai. Di masa kecil ia bekerja pada seorang tukang kayu dan memperlihatkan kemampuan luar biasa sebagai tukang kayu dari Nazareth.
            Pada usia 13 tahun ia masuk seminari kecil di San Miguel dan kemudian dikirim belajar ke Roma di Universitas Gregoriana dan ditahbiskan imam tahun 1942. Setelah menyelesaikan lisensiat di bidang teologi, dia meneruskan ke tingkat doktorat dengan spesialisasi Teologi Asketik. Karena kekurangan Imam di El Salvador, maka studinya dihentikan dan dia kembali menjadi pastor di desa. Karena kemampuannya dia diangkat menjadi rector Seminari Inter Diosesan dan Sekretaris Dioses San Miguel.
Tahun 1970 ditahbiskan menjadi Uskup Auxilier untuk Keuskupan Agung San Salvador. Uskup Agung saat itu adalah Luis Chaves y Gonzales yang amat bersemangat menerapkan pembaharuann dalam keskupan sejalan dengan Konsili Vatikan II. Sebagai Uskup Agung dia amat progresif dalam hal berpasoral dan ternyata semangat Uskup Agung itu tidak disenangi Romero yang menempatkan diri sebagai seorang konservatif.
            Semangat konservatif itulah yang menjadi modal utama Romero, sehingga dia disukai nuntio yang mempromosikannya ke Roma menggantikan uskup Chaves tahun 1977. Konservatisme Romero berubah total ketika sahabat dan rekannya   Rutilio Grande, seorang Jesuit dan pembela kaum tertindas ditemukan tewas di tangan pembunuh bayaran dari Rezim militer yang bersekongkol dengan orang-orang kaya. Hari itu, 12 Maret 19777, di hadapan jasad Rulitio Grande, romero berujar, “jika mereka membunuh dia, karena apa yang dikerjakannya, maka aku pun juga mesti menjejaki jalan yang sama:. Romero berbalik, dari seorang konservatif menjadi seorang pejuang keadilan dan kebenaran.
            Sejak saat itu, tak ada yang mampu menghentikan perjuangannya. Saban hari dia membaca dan mendoakan korban kekejaman pembunuh bayaran, yang didukung putra Presiden El Salvador. Ia menulis surat Pastoral, yang kemudian dikukuhkan dengan judul, “Voice of the Voiceless)”. Pilihan yang diambilnya membuka kesadaran dan keyakinan bahwa kematian di moncong senjata pembunuh bayaran adalah soal waktu saja. Sekali waktu dia berujar, “jika mereka membunuh saya, maka saya akan bangkit lagi dalam diri rakyat El Salvador”.
            Romero benar, sore itu, tanggal 24 Maret 1980, seusai kotbah, seorang pembunuh bayaran melongos masuk ke Gereja dan menyemburkan peluru ke tubuh Romero. Rakyat El Salvador berduka. Tetapi di pemukiman-pemukiman orang kaya, malam itu kembang api bertebaran di udara dan meja-meja perjamuan menjamur di rumah-rumah mewah. Prelat berjubah ungu hanyut dalam pesta dan suka cita karena kematian Romero, yang dituduh merusak hubungan Gereja dan Pemerintah.
            Romero tidak mati. Dunia menghargai dan memujanya. Tahun 1981 dia mendapat hadiah Nobel dan telah dicalonkan sejak tahun 1978. Ia kembali bangkit dalam diri rakyat El Salvador.
“sebelum mereka membunuh dia, jumlah kami hanyalah ratusan orang. Tetapi setelah mereka membunuh dia, jumlah kami menjadi beribu-ribu”. Kata seorang mantan geriliawan El Salvador. Kini Romero bangkit lagi hati kaum beriman. Gereja Katolik, telah membeatifikasi Uskup Romero 23 Mei 2015. Sukacita dan anugerah Pentekosta bagi Gereja dan rakyat El Salvador, teladan kenabian bagi para petinggi Gereja.***

Judul dan isi tulisan diolah dari
Peter C. Aman, OFM
Majalah Gita Sang Surya Vol. 10, No. 4 Juli – Agustus 2015

Senin, 23 November 2015

PEMBANGUNAN KOTA YANG MEMANUSIAKAN MANUSIA



(disampaikan dalam diskusi mingguan)
Sebagai Ibu Kota negara, Jakarta adalah etalase utama demokratisasi di Indonesia. Daya dorong pluralisme merupakan modal politik yang tidak dapat diabaikan. Fakta antropologis menunjukkan Jakarta adalah tanah Betawi, suku asli dan hasil kawin campur berbagai etnis, yang kemudian membentuk karakter tersendiri. Kini, Jakarta menjadi rumah bagi kemajemukan suku di Indonesia. Setidaknya tiga suku terbesar di Jakarta, yakni Jawa (35 persen), Betawi (27 persen), dan Sunda (21 persen), sementara lainnya (17 persen).
Silang budaya selama berabad-abad tak membiarkan satu kebudayaan besar mendominasi Ibu Kota. Di ranah politik, publik cair mengartikulasikan pilihan dan sikap politiknya. Pluralisme politik terlihat sejak Pemilu 1955 yang memunculkan partai-partai utama di DKI Jakarta, yakni Masyumi (2 kursi), PNI (1 kursi), NU (1 kursi), dan PKI (1 kursi).

Persoalan ketimpangan di Ibu Kota juga terlihat dari angka rasio gini dalam lima tahun terakhir. Membesarnya koefisien rasio gini menunjukkan distribusi pendapatan makin melebar dalam hal kesenjangan antara kaya dan miskin kota. Tahun 2008, angka rasio gini DKI Jakarta masih 0,33 di bawah angka nasional 0,35. Namun, tahun 2012, rasio gini DKI Jakarta menjadi 0,42, sementara angka nasional 0,41. Selain itu, tingkat pengangguran 9,02 persen dan kemiskinan 3,72 persen masih menjadi problem.
Problem itu terjadi di tengah kompleksitas pluralisme Jakarta. Jika tidak dikelola, pluralisme bisa menjadi petaka. Penolakan terhadap Lurah Susan Jasmine Zulkifli di Lenteng Agung pada September 2013 menunjukkan pluralisme di Jakarta belum menyentuh aspek kognitif warga.
Sebagai ibu kota Negara, Jakarta memiliki berbagai masalah bersekala luar biasa. Kemacetan yang massif, penumpukkan sampah, berbelitnya perizinan dan rendahnya kualitas layanan public menjadi menu sehari-hari yang harus ditangani pemimpin Jakarta. Kepuasan public terhadap kinerja Gubernur Basuki Thaja Purnama dan wakil Gubernur Djarot Saiful Hidayat satu tahun terakhir antara lain dilakukan survey oleh Litbang Kompas, Cyrus Network dan Saiful Mujani Research & Consulting dengan metode melalui telepon dan tatap muka.
Asia Pacific Urban Forum (APUF) ke-6 yang digelar di Jakarta, 19-21 Oktober 2015 lalu, dihadiri oleh hampir seluruh elemen pengambil kebijakan kota-kota di kawasan Asia Pasifik, seperti wali kota, akademisi LSM, pekerja sosial dan anak muda. “Kunci pengembangan kota adalah peran komunitas,” ujar Shamsad Akhtar, Sekretaris Eksekutif Komisi Ekonomi dan Sosial untuk Asia Pasifik Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN ESCAP). Menurut Akhtar pembangunan kota tak hanya sebatas fisik, tetapi juga sosial. Peran manusia menjadi kunci dalam pembangunan. Kompas, Senin, 16 November 2015.
Ironisnya, pembangunan yang memanusiakan manusia menjadi barang langkah termasuk di Jakarta dan kawasan sekitarnya, seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Orang miskin digusur dan tak diberi kesempatan bersuara, kaum marjinal merasa terasing, dan kaum minoritas tak diberi ruang. Pembangunan di Jakarta belum menampung kepentingan masyarakat miskin. Akibatnya, keadilan tata ruang tak terwujud. Menurut Koordinator Urban Poor Consortium dan Uplink Wardah, hanya 0,33% dari seluruh luas kota yang dihuni warga miskin. Sisanya pembangunan mal-mal besar, perkantoran dan permukiman elit.
Dalam kasus penggusuran Kampung Pulo, misalnya, kesewenang-wenangan Pemerintah Provinsi masih terasa kental. Relokasi/memindah masyarakat dengan cara keras dan tak kenal kompromi telah menegaskan bahwa kota bukan tempat ramah bagi mereka yang tak memiliki hak atas tanah. Pemerintah memilih cara represif dengan menurunkan personel kepolisian dan Satuan pamong praja dalam menghadapi aksi kekerasan dan protes masyarakat kampong pulo dalam memuluskan penggusuran tersebut. Warga digusur dengan dalih penataan kota. Di sisi lain, pembangunan apartemen dan mal yang menggerus ruang public berlangsung massif dan tak karuan.
Pembangunan Jakarta dan kota penyangga masih cenderung ekskluif dan berpihak pada pemodal besar (PENGUSAHA) atau Kapitalis. Pemerintah sudah saatnya untuk harus melibatkan warga miskin dan dan menengah dalam setiap perencanaan dan pembangunan kota. Hal ini karena masyarakat bukanlah objek dari sebuah pembangunan melainkan subjek dari pembangunan itu sendiri. Pembangunan kota yang baik seharusnya mengedepankan kepentingan semua manusia yang tinggal di dalam kota, termasuk pembangunan ruang public, dan perumahan rakyat.
Direktur Program Studi Pembangunan University of the South Pacific di Fiji Profesor Vijay Naidu berpendapat, salah satu cara membangun kota yang memanusiakan manusia adalah dengan mengoptimalkan partisipasi warga yang menjadi komponen terpenting dalam pembangunan. Kawasan kumuh masih merajalela, macet menjadi rutinitas, dan banjir tak terhindarkan. Pemimpin sebagai perumus keputusan seharusnya memainkan peranan besar untuk mendorong warga beralih moda menggunakan angkutan missal. Tanpa ada kemauan politik dan berkemanusiaan, pembangunan kota akan seterusnya berjalan timpang dan eksklusif.

Oleh     : Anthony Andgor Walona
              (PGK DPC PMKRI Cabang Jakarta Pusat)
Referensi :
a.       Indah Surya Wardhani, Analisis Isu DKI: Kemajemukan dan Ketimpangan, Kompas 26 Juni 2014;
b.      Kompas, 16 November 2015, Pembangunan Kota Belum Untuk Semua

Sabtu, 11 Juli 2015

REFORMASI KEBEBASAN KEKUASAAN KEHAKIMAN


Persoalan Kebebasan Kekuasaan Kehakiman
Berdasarkan analisis historis konstitusi di Indonesia, adanya jaminan dan kepastian akan hakekat kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman sangat tergantung dengan penerapan dan pelaksanaan sistem politik. Kendati konstitusi kini secara eksplisit menyatakan kebebasan kekuasaan kehakiman, tapi penyimpangan masih begitu banyak terjadi, baik dalam konteks dimensi substansi maupun prosedural yang tidak memungkinkan terjadinya kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman.
Berbagai peraturan perundangan yang mengatur kekuasaan kehakiman, masih belum memberi ruang dan atmosfir yang kondusif bagi independensi kekuasaan kehakiman. Banyak peraturan yang tidak selaras, tidak harmonis dan inkonsistensi dengan konstitusi maupun satu dengan lainnya. Diantaranya ada yang mengandung berbagai kelemahan, karena mengandung multi penafsiran dan tidak bisa dilakukan enforcement. Sementara mekanisme berbagai peraturan perundangan yang mendistorsi ketentuan dalam konstitusi.
Intervensi atau pengaruh campur tangan dari kekuasaan pemerintah masih begitu jelas terlihat dan terasa. Bahkan, lembaga peradilan tersubordonasi oleh kekuasaan eksekutif dan dikooptasi oleh pihak yang menguasai sumber daya ekonomi dan politik. Dalam rezim iu, peradilan merupakan bagian dari kepentingan eksekutif, karena harus mnejalankan direktiva dan mengamankan preferensi kepentingan penguasa dan kekuasaan. Sehinggga fungsi genuinenya tidak bisa dilakukan secara optimal, malah berfungsi guna melaksanakan, mempertahankan dan mengamankan program pembangunan dan kepentingan pemerintah, yaitu sebagai instrumen stabilitas politik dan pendorong pertumbuhan ekonomi.
Peradilan tidak punya kebebasan dan kemandirian untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan masalah internal institusional dan substantif. Dalam masalah personal, primaritas juga masih menjadi persoalan, dimana etika, moralitas serta integritas dan kapabilitasa hakim dalam kekuasaan kehakiman belum sepenuhnya independen dan terbebaskan dari pengaruh dan kepentingan kekuasaan. Mereka seharusnya tidak boleh mmepengaruhi dan /atau terpengaruh atas berbagai keputusan dan akibat hukum yang dibuatnya sendiri, baik dari segi politis maupun ekonomis.

Asumsi Dasar Reformasi Kebebasaan Kekuasaan Kehakiman:
Tujuan utama kekuasaan kehakiman menurut konstitusi adalah mewujudkan cita-cita kemerdekaan RI yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur melalui jalur hukum. Reformasi dibidang kekuasaan kehakiman ditujukan untuk:
Pertama          :  menjadikan kekuasan kehakiman sebagai sebuah institusi yang independent;
Kedua              :    mengembalikan fungsi yang hakiki dari kekuasaan kehakiman untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum;
Ketiga              :   menjalankan fungsi check and balances bagi institusi kenegaraan lainnya;
Keempat         :  mendorong dan memfasilitasi serta menegakkan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis guna mewujudkan kedaulatan rakyat dan kelima: melindungi martabat kemanusiaan dalam bentuk yang paling kongkrit.

Kebebasan kekuasaan Kehakiman dalam konteks mewujudkan peradilan mandiri, tidak hanya menyatu atapkan pembinaan dan pengawasan, tapi juga dimaksudkan untuk memandirikan Hakim dan lembaga Mahkamah Agung. Secara organisatoris MA dan lingkungan peradilan lainnya harus dibebaskan dan dilepaskan dari segala intervensi dan pengaruh kekuasaan negara lainnya dan hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tidak boleh menundukkan diri pada visi dan kepentingan politik pemerintah. Secara politik, kekuasaan kehakiman harus didukung oleh pemisahan yang tegas antara lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif dengan mengimplementasikan ketetapan MPR yaitu TAP MPR No. X / 1998 yang menyatakan perlunya pemisahan yang tegas antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif, sehingga menciptakan adanya check and balances dalam sistem politik. Jaminan kebebasan pers juga menjadi salah satu prasyarat dan bagian integral yang tak terpisahkan bagi terwujudnya kebebasan kekuasaan kehakiman.
Indonesia juga harus melaksanakan secara utuh dan konsekwen prinsip-prinsip universal dari kemandirian kebebasan kekuasaan kehakiman. Karena itu harus direvisi dan diamandemen segala peraturan perundang-undangan kebijakan dan lembaga -lemnbaga yang bertentangan dengan jiwa dan prinsip dari kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman.

Mahkamah Agung Dalam Konteks Ketatanegaraan :
Kalau hendak membicarakan MA dalam konteks ketatanegaraan, maka titik tolaknya bertumpu pada pasal 24 dan 25 UUD yang mengemukakan sebagai berikut:
Pasal 24 :
(1)  Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut Undang-Undang;
(2)  Susunan dan Kekuasaan badan-badan Kehakiman itu diatur dengan Undang-Undang.

Pasal 25 :
Syarat- syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan Undang-Undang.

Jika dianalisis lebih dalam, kosakata “Kekuasaan Kehakiman” dalam konstitusi merupakan terjemahan dari istilah Belanda yang bisa disebut ”Rechterlijke Macht”. Kata dimaksud mengacu pada teori Montesque mengenai pemisahan kekuasaan atau “Separation of Power“. Maksud istilah “Kekuasaaan” dapat diartikan sebagai “Orgaan“ (Badan) atau bisa juga berarti “Functi” (Tugas).
Sedangkan penggunaan istilah “Sebuah” Mahkamah Agung, haruslah diartikan bahwa Undang-Undang Dasar hanya menghendaki satu badan atau lembaga Mahkamah Agung saja. Sedangkan kosakata istilah “Badan Kehakiman” dalam arti umum disebut sebagai “Genus Begrip”. Jadi dengan begitu “Mahkamah Agung” dimaknai dalam arti khusus yaitu sebagai “Species Begrip”. Ada pun yang dimaksud dengan kosakata “Susunan” adalah sebagai instruktur dari organisasi badan-badan peradilan, sedangkan istilah “Kekuasaan” dimaksudkan sebagai wewenang atau kewenangan, dalam bahasa lain biasa disebut sebagai “Judiciary Act”.
Dalam realisanya antara kekuasaan kehakiman dengan cabang kekuasaan lainnya, ada suatu pendapat yang menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar menganut faham Duo Politica, karena pemisahan kekuasaan negara hanya menyangkut dua kekuasaan saja, yaitu: Kekuasaan Pemerintahan Negara sebagaimana diatur dalam BAB III dan Kekuasaan kehakiman seperti diatur dalam BAB IX Undang-Undang Dasar. Melalui faham atau ajaran Duo Politico ini telah terjadilah pemisahan kekuasaan, sehingga dengan begitu Undang-Undang Dasar juga menganut ajaran politik “Separation Of Power”.
Sedangkan dalam konsteks kekuasaan pembuatan Undang-Undang secara normatif DPR punya kewenangan untuk memberikan persetujuan terhadap Rancangan Undang-Undang (Pasal 20 ayat 2 UUD), walaupun harus mendapatkan pengesahan dari Presiden (Pasal 21 ayat 2 UUD). Demikan sebaliknya, dalam kegentingan yang memaksa pemerintah bisa mengajukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, tapi harus mendapatkan persetujuan dari DPR (Pasal 22 ayat 1 dan ayat 2 UUD). Dalam kekuasaan pembentukan UU terjadilah distribution of power yang cukup balance antara DPR dengan Kekuasaan Pemerintah yang sekaligus Separation of Power dengan Kekuasaan Kehakiman.
Analisis normatif semantik dalam bidang kekuasaan pembuatan Undang-Undang harus disertai dengan analisis historis untuk melacak spirit yang menjadi motif pembuatan teks pasal itu. Kendati tidak cukup banyak literatur yang mengemukakan hal ini, tapi dua hal bisa diajukan sebagai dasar, mengapa Kekuasaan Pemerintah mempunyai hak dalam pembuatan Undang-Undang, karena: pertama: pemerintah dianggap paling mengetahui kebutuhan peraturan atau kebijakan yang diperlukan untuk menjalankan pemerintahan; kedua: pemerintah mempunyai resources yang cukup untuk mengajukan usulan rancangan peraturan. Namun begitu DPR pun, tetap diberi kekuasaan untuk membentuk dan memberikan persetujuan terhadap rancangan Undang-Undang.
Dalam konteks kekinian, alasan dan kebutuhan Kekuasaan Pemerintah membuat Undang-Undang harus dipertimbangkan lagi apalagi jika diletakkan dan dikaitkan dengan ajaran konstitusionalisme dalam konteks pembatasan kekuasaan dan kekuasaan yang harus mengabdi dan melindungi kepentingan rakyat. Dengan begitu, pendapat faham Duo Politico tidak sepenuhnya benar, karena kekuasaan tetap terbagi menjadi kekuasaan eksekutif, legislatif dan judicial sesuai dengan ajaran Trias Poltica tapi tidak murni.
Jika analisis diatas diletakkan dalam konteks ajaran Montesque dalam Trias Poltica murni, maka kekuasaan tidak hanya berbeda, tapi juga merupakan suatu institusi yang harus terpisah satu dan lainnya didalam melaksanakan kewenagannya (maksudnya: satu organ, satu fungsi). Biasa juga dikemukan sebagai “Communis Opinio Doctrum”, di mana kekuasaan kehakiman adalah suatu yang kekuasaan yang harus benar-benar terbebaskan dari pengaruh kekuasaan yang lainnya. Dalam Constitusional Rule biasa dikemukakan atau disebutkan sebagai ”The Independence Of Judiary”. Dari Undang-Unadang dasar dikemukakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang terpisah.
`Kalau teori Montesque dengan ajaran atau faham konstitusionalisme , maka hakim harus mempunyai kewenangan untuk mengkontestasi dan membatalkan setiap peraturan, kebijakan dan tindakan presiden serta setiap perundang-undangan yang bertentangan dan melanggar konstitusi. Apalagi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tidak pernah menyatakan dana membuat ketentuan yang melarang hakim untuk menguji Undang-undang terhadap konstitusi. Dalam posisi dan titik ini Hakim Kasasi dapat bertindak untuk atas nama serta sebagai “Interpreter of the constitution”.

Problematik dan Solusi Eksternal:
Pada kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia, pendekatan atau setting didalam sistem politik menggunakan sistem distribution of power yang menghendaki adanya kooperasi dan konsultasi kelembagaan diantara badan ekskeutif dan yudikatif. Dalam kenyataannya, keadaan seperti ini, sanagat potensial menyebabkan terjadinya “judgment of political interference”. Untuk mengatasi problematik eksternal, maka secara politik dalam sistem politik harus dilakukan pemisahan yang tegas antara lembaga legislatif , yudikatif dan eksekutif dengan mengimplementasikan secara tegas ajaran Trias Politika dari Montesque dan merealisasikan Ketetapan MPR No X / 1998 secara murni dan konsekwen.
Pemisahan secara tegas harus dilanjutkan disertai dengan pemberian secara otonomi kepada yudikatif, baik yang bekaitan dengan kemandirian dalam bidang personal, internal institusional dan substantif. Begitu pun terhadap penyelenggaraan fungsi-fungsi kekuasaan kehakiman seperti fungsi yudicial review, supervisi, konsultatif, legislatif dan administratif diserahkan sepenuhnya kepada dan melalui lembaga MA. Dengan begitu tidak ada lagi ketegangan antara dua badan yang sering terjadi secara factumis area dalam bidang dan fungsi kekuasaan kehakiman.
Peran profesioanl hakim harus ditegakkan dengan membebaskannya dari pengaruh extra judicial serta membebaskannya dari kekuasaan apa pun, baik kekuasaan dalam bidang eksekutif, legislatif maupun lembaga kekuasaan negara lainnya. Kehendak yang bebas harus terwujud dan diwujudkan dengan kongkrit. Tapi itu tidak berarti kekuasaan Kehakiman akan bebas sebebas-bebasnya, mekanisme check and balances, check and control harus dorong dan diciptakan untuk menghindari adanya power block.
Itu sebabnya hak prerogatif presiden dalam pengangkatan pimpinan dan anggota MA serta hakim Agung harus dibatasi. Presiden hanya berfungsi deklaratif yaitu menandatangani pengesahan usulan calon Pimpinan, Anggota MA dan Hakim Agung yang sudah pasti, yang sudah diputuskan oleh Majelis dan/atau Parlemen dalam kapasitas sebagai Presiden dan bukan sebagai Kepala Negara karena istilah Kepala Negara tidak dikenal dalam UUD.

Problematik dan Solusi Internal
1. Sifat Independen Yudicial
Kekuasaan MA harus independen dan terpisah dari kekuasaan negara lainnya. Independen itu meliputi kemandirian personal (personal judicial indepence), kemandirian substansial (substantif judicial independence) dan kemandirian internal dan kemandirian kelembagaan (institusional judicial independence).
Kemandirian substantif adalah kemandirian didalam memerikasa dan memutusakan suatu perkara semata-mata untuk menegakkan kebenaran dan keadilan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum.
Kemandirian institusional adalah kemandirian lembaga kehakiman dari intervensi berbagai lembaga kenegaraan dan pemerintahan lainnya didalam memutus suatu perkara.
Kemandirian internal adalah kemandirian yang dimiliki oleh peradilan untuk mengatur sendiri kepentingan kepersonalian kehakiman meliputi antara lain rekruetmen, mutasi, promosi, penggajian , masa kerja, masa pensiun.
Kemandirian personal adalah kemandirian dari pengurus rekan sejawat, pimpinan dan institusi kehakiman itu sendiri.
2. Fungsi Peradilan
Fungsi utama dari MA sebagai sebuah lembaga peradilan adalah mewujudkan tujuan hakiki dari kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri yaitu mewujudkan kedaulatan rakyat, interpreter of the constitution, menegakkan keadilan, kebenaran dan kepastian hukum, menjalankan fungsi check and balance guna menegakkan prinsip-prinsip negara hukum guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Fungsi Yudicial menyelenggarakan peradilan dengan melaksanakan dan menerapkan hukum secara tepat dan adil.
Fungsi Review (toetsingsrecht) adalah hak untuk menguji secara materiil berbagai peraturan perundang-undangan dibawah konstitusi dengan mekanisme prosedural yang tidak menyulitkan.
Fungsi Supervisi adalah pertama: pengawasan dan pembinaan tertinggi terhadap proses penyelenggaraan peradilan disemua tingkat dan lingkup peradilan; kedua: pengawasan terhadap tingkah laku dan perbuatan para hakim; ketiga: meminta keterangan mengenai teknis peradilan; keempat: mempunyai kewenangan untuk memberikan petunjuk, tegoran dan peringatan yang diperlukan.
Fungsi Legislasi adalah membuat berbagai peraturan dan kebijakan untuk menindaklanjuti dan melengkapi kekurangan atau kekosongan hukum secara proaktif kepasda lembag tinggi negara terhadap hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak, memberikan usulan dan pertimbangan hukum kepada Presiden untuk grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi.
Fungsi Administrasi adalah mengelola hal-hal yang berkaitan dengan keorganisasian, keuangan dan administrasi kelembagaan yaitu antara lain rekrutmen , mutasi, promosi, penganggaran, penggajian dana masa kerja.
3. Kedudukan MA sebagai Peradilan
Kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradialn guna mewujudkan keadilan dan menegkakan hukum demi terselenggaranya Negara Hukum.
Mahkamah Agung adalah peradilan tertinggi dari semua lingkungan peradilan lainnya seperti Peradilan Umum, Agama, militer dan Tata Usaha Negara maupun peradilan lainnya.
Mahkamah Agung adalah lembaga peradilan yang mempunyai kedudukan terlepas dan terpisah dari pengaruh kekuasaan negara lainnya.

4. Sistem dan Prasyarat Peradilan yang Fair dan Efisien
  1. peradilan terbuka untuk umum dilaksanakan oleh pengadilan yang berwenang;
  2. peradilan menempatkan semua orang sama dimuka hukum dan menjamin terlaksananya rule of law;
  3. pemeriksaan dilakukan dengan adil dan tidak memihak sesuai dengan fakta-fakta dan dengan menerapkan prinsip-prinsip hukum yang baik dan benar;
  4. peradilan dilakukan sederhana, cepat, biaya ringan;
  5. peradilan dilakukan sesuai dengan jurisdiksinya;
  6. segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang;
  7. peradilan menjamin perlindungan, penghormatan dan pelaksaan hak asasi manusia;
  8. peradilan harus membantu para pencari keadilan untuk mengatasi segala hambatan agar tercapai kebenaran dan keadilan serta terlaksanaya butir pertama hingga ketujuh.

5. Administrasi Pelayanan Peradilan
Administrasi peradilan dimaksudkan untuk memerangi kelambanan dan kongesti perkara. Ada lima esensial pokok, yaitu pertama: harus ada :” Court structure” yang sederhana dan integratif; kedua: peradilan tertinggi harus punya kewenangan untuk mengatur kebijakan umum bagi semua peradilan dibawahnya, bisa dibuat melalui judicial conference; ketiga : harus ada “flow chart” proses penanganan perkara denagn mengemukakan tenaga waktu dalam proses pelaksanaan; keempat : pembayaran semua cost untuk administrasi pengadilan dibuat transparan dan dilakukan melalui bank; kelima: harus ada public mechanism control untuk memantau prosedur penanganan perkara.

6. Susunan Struktur MA
Susunan MA terdiri dari Pimpinan dan Anggota, Hakim Agung yang menjalankan fungsi judicial review, suprevisi, konsultatief dan legislasi, Sekertaris Jenderal dan Panitera yang menjalankan fungsi administrasi. Dalam garis koordinatif ada lembaga Majelis Kehormatan Kode Etik adan Majelis Kehormatan Non Etik.

7. Pola Rekrutmen MA
Sistem rekrutmen Hakim Agung harus bersifat terbuka, maksudnya selain dari hakim karier maka dimungkinkan juga para hakim bersalah dari lingkungan para penegak hukum lain yang terdapat dalam lingkungan criminal justice system seperti advokat, kejaksaan dan kepolisian. Pola dan proses rekruetmen, mutasi, promosi dan jenjang kepangkatan Hakim diserahkan kepada mekanisme internal MA.
Hakim Agung dipilih dan diberhentikan langsung oleh DPR berdasarkan usulan-usulan langsung dari rakyat dan lembaga profesi hukum. Pemilihan dan pengangkatan hakim agung harus menjamin bahwa para kandidat mempunyai kemampuan, integritasnya tinggi , kemandirian dan berpengalaman, selain profesional, jujur, bersih dan berwibawa. Kandidat terbaiklah yang dapat menduduki jabatan.
Pimpinan dan anggota diangkat oleh MPR secara bebas dan rahasia disahkan oleh presiden sebagai Kepala Negara Hakim Agung diangkat oleh DPR.
Pemilihan calon tidak boleh didasarkan atas diskrimasi berdasarkan ras, suku, agama warna kulit, sex dan aliran politik.
Prosedur pengangkatan harus diatur jelas dan mudah diketahui oleh publik.
Promosi hakim haruslah dilakukan sesuai dengan merit system dengan memperhatikan kemampuan, integritas, kemandirian dan pengalaman.

Hakim hanya bisa diberhentikan apabila terbukti, tidak mampu melakukan tindak pidana melakukan tindakan dan kelakuan tidak sesuai serta bertentangan dengan martabat dan kedudukanya sebagai hakim dengan memberikan kesempatan yang cukup untuk melakukan pembelaan diri.

8. Pola Pendidikan Hukum bagi Hakim Dan Para Penegak Hukum Lainnya
Perilaku suatu program pendidikan hukum terpadu bagi para penegak hukum seperti hakim, penuntut umum dan advokat sebelum profesi yang diminatinya dalam kurun waktu terteuntu. Dalam pendiidkan itu sleain peningkajtan pengetahuan hukum juga perlu dikemukakan mengenai visi, peran, posisi dan komitmen moral hakim dalam penegakan hukum dan mewujudkan supremasi hukum. Proses magang juga harus diterapkan sebelum mereka menduduki jabatan hakim.
9. Pusat Pendidikan Hukum
Diperlukan pusat pendidikan untuk menigkatkan kemampuan pengetahuan hakim dan untuk mengantisipasi berbagai perkembangan hukum dan tindak kriminal, khususnya White Colour Crime. Perlu ada Short Cource Program untuk peningkatan dan spesialisasi minat hakim atas suatu issu tertentu.
10. Kode Etik Dan Non Etik Profesi
Hakim harus mempunyai kode etik Profesi, Majelis Kehormatan Kode Etik dan Majelis Kehormatan Non Etik Majelis Impeacment Peradilan. Dalam komposisi dio Majelis Kehormatan Non Etik serta Majelis Impeacment harus ada wakil dari para penegak hukum lainnya dan prominent publik figur yang mempunyai integritas dan kapabilitas dalam bidang hukum.
Kalau ada hakim yang melanggar kode etik, maka Majelis Kehormatan etik mengambil sikap dan putusan, kemudian meminta Ketua MA untuk mempertimbangkan dan mengesahkan putusannya dan DPR yang bertindak melakukan pemberhentian. Kalau Ketua dan Anggota MA yang melakukan pelanggaran, Majelis Kehormatan Etik memeriksanya kemudian mengambil sikap dan putusan, kemudian meminta lembaga Impeachment untuk mempertimbangkan dan mengesahkannya MPRlah yang akan bertindak melakukan pemberhentian.
Tindakan hakim yang tidak menyangkut soal etik namun berkaitan dengan kemampuan hakim, penjatuhan sanksi pidana serta tindakan/kelakuan yang bertentangan dengan martabat dan kedudukannya sebagai hakim diperiksa sebagai oleh Majelis Kehormatan Hakim Non Etik. Majelis akan memeriksa, mengambil sikap dan putusan. Ketua MA akan mengesahkannya dan DPR yang bertindak melakukan pemberhentian. Kalau Ketua dan Anggota MA yang melakukan pelanggaran itu, maka Majelis Kehormatan akan memeriksanya, kremudian mengambil sikap dan putusan, kemudian meminta lembaga Impeachment untuk mempertimbangkan dan mengesahkannya, MPRlah yang akan bertindak melakukan pemberhentian.

11. Prosedur Pemeriksaan dan Penerapan Sanksi
Perlu dibuat Lembaga Pengaduan dari masyarakat terhadap fungsi Judicial dan perilaku hakim yang melanggar dan bertentangan martabatnya sebagai hakim.
Perlu dibuat struktur, prosedur dan mekanisme bagi lembaga Majelis Kehormatan Kode Etik dan Non Etik serta Lembaga Impeachment Peradilan. Begitupun pola pemeriksaan dan penerapan sanksinya.

12. Eksaminasi dan Publikasi putusan MA
Diperlukan suatu mekanisme yang mengatur program eksaminasi, yaitu penilaian para hakim oleh atasannya dan atau tim yang ditunjuk khusus itu atas keputusan-keputusan hakim (apalagi perkara yang mendapat atensi publik) yang dibuat oleh para hakim dalam kurun waktu tertentu.
Eksaminasi dibuat secara transparan dan sedapat mungkin membuka ruang partisipasi dari aparat penegak hukum lainnya. Program ini juga untuk menilai kemampuan dan prestasi seorang hakim untuk keperluan promosi dan peningkatan jenjang kepangkatan, selain untuk melacak, apakah terjadi praktek kolusi dan manipulasi putusan dalam suatu perkara.

13. Contempt of Court
Untuk menjamin penyelenggaraan peradilan yang baik agar mampu mewujudkan keadilan dan menegakan hukum, diperlukan peraturan perundangan yang mengatur mengenai penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan dan martabat serta kehormatan peradilan.



14. Perencanaan Kebijakan dan Harmonisasinya
Perlu dihapuskan berbagai badan yang bertentangan dengan prinsip kebebasan kekuasaan kehakiman dan supremasi MA, seperti MAHKEJAPOL, MAHDEP, Badan Sengketa Peradilan Pajak.
Perlu dihapuskan dan diharmonisasikan berbagai perundangan dan kebijakan yang bertentangan prinsip dan sifat kebebasan kekuasaan kehakiman, baik yang bersifat materiil dan prosedural.

15. Judicial Condition (Fasilitas dan Infrastruktur Aparat Penegak Hukum)
Hakim harusah diberi jaminan untuk mendapat penghasilan yang tinggi, diberikan persyaratan dan jaminan kerja, bahkan harus diberikan prioritas pembiayaan untuk menegakan rule of law dan perlindungan terhadap hak azasi.
Eksekutif dan keamanan harus memberikan jaminan perlindungan dan keamanan yang maksimal bagi hakim dan keluarganya.
Fasilitas dan penghasilan hakim tidak bisa dipakai untuk menekan dan mengancam hakim dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Hakim harus mendapatkan jaminan kekebalan dari gugatan perdata untuk kerugian dan putusan pidana, karena tindakan yang kurang benar atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas peradilan.

16. Standarisasi dan Modernisasi Perpustakaan
Lembaga ini lebih dimaksudkan untuk menyediakan berbagai sarana informasi yang memungkinkan hakim bisa membuat keputusan sesuai prinsip hukum yang baik dan benar sehingga akan mendorong tercapainya salah satu fungsi peradilan, yaitu sebagai benteng terakhir bagi pencari keadilan untuk menegakan keadilan dan kebenaran.

17. Forum Pemantau Kekayaan Hakim
Forum ini lebih dimaksudkan sebagai instrumen untuk memantau hakim agar mereka menggunakan kewenangannya sesuai kewajiban hukum yang seharusnya dilakukan bukan karena imbalan ekonomis atau politis tertentu. Dengan begitu akan ada atmosfir yang kondusif untuk menjaga integritas, komitmen, dan nurani hakim untuk bersikap dan bertindak sesuai martabat dan kedudukannya.
18. Judicial Watch
Komisi ini dimaksudkan untuk mendorong partisipasi dan apresiasi masyarakat untuk terlibat dalam proses penerapan hakim melalui pemantauan yang intensif atas berbagai proses persidangan yang mendapatkan atensi publik yang besar. Dalam proses ini perlu diintroduksi suatu lembaga observer yang secara formal dan informal memantau proses persidangan juga perlu dibentuk suatu kelompok atau komisi Anotasi yang membuat komentar dan analisis persidangan dan keputusan peradilan tanpa harus mengintervensi proses yudicial. Forum ini dimaksudkan juga sebagai bagian dari kontrol sosial rakyat terhadap proses persidangan untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran.

Daftar Pustaka :
  1. Tim BPHN, Laporan Tim Perumusan Harmonisasi Hukum Tentang Kekuasaan Kehakiman.
  2. Indriyanto Seno Adji, Menuju Peradilan yang Independen: Suatu Tela’ah Problematik.
  3. IKAHI, Memorandum Ikatan Hakim Indonesia.
  4. Makalah, Posisi Mahkamah Agung Dalam Ketatanegaraan: Sekarang dan Seharusnya;
  5. Studi Bappenas, Studi Diagnotis Prekembangan Hukum di Indonesia;
  6.  Mahkamah Agung, Usul Perubahan Beberapa pasal Undang-Undang No 14 Tahun 1970;
  7. Benny K. Harman, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan di Indonesia;
  8. Menyingkap Kabut Peradilan Kita; Menyoal Kolusi di Mahkamah Agung;
  9. Wirjono Prodjodikoro, Asas- asas Ilmu Negara dan Politik;
  10. Soehino, Hukum Tata Negara, Sistem Pemerintahan Negara;
  11. Preamble To Statement Of Principles Of The Independence of The Judiciari;
  12. Universal Declaration of Human Rights;
  13. International Convenant on Civil and Political Rights;
  14. Berbagai Media Masa, Antara Lain Melalui : Pusat Informasi Kompas